URANG
BANJAR
IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 1)
Of Borneo’s
total population of 12 million,
only
about one fourth are classified
as Dayaks—the
rest are Malays.
Ninenty percent of the
so called Malays,
all of the Muslim
faith, are Islamized Dayaks
(Karl Muller, Introducing
Kalimantan,
Penerbit Periplus Edition, 47)
Abstract:
Banjar or Bandar, in the begining, is the name of
a small kampong in estuary of the
Kuwin River-South Borneo that functioning as a
small port. Kampong that led by Patih Masih, in growth hereinafter become the
identity of an ethnic group and Islam empire. More than that Banjar become a
distinguishing ideology that is with the existence of adagium “Islam is Banjar
and Banjar is Islam.” Banjar have come
to the concept of religious and
cultural, naming Banjar is to show the difference between Islam people anda
Dayak people who are not Moslem. This article
wish to re-trace Banjar as
distinguishing ideology by re-read the Hikayat
Bandjar, and studies bearing theory
that “Banjar is Islam and Islam is
Banjar.”
Pendahuluan
Pada
bulan Juni 2004, seorang laki-laki yang
bernama Asep datang ke Sungei Kayu, perkampungan orang Dayak Ngaju yang berada
di pinggir sungai Kapuas, Kalimantan Tengah.
Dengan bahasa Banjar yang kental, ia mengaku dirinya sebagai Urang
Banjar, tinggal di Banjarmasin tepatnya di belakang Pasar Pandu dan tujuan
kedatangannya adalah untuk mencari saudara-saudara kandung almarhum
ayahnya. Singkang, penduduk asli Sungei
Kayu, orang pertama tempat Asep
bertanya, bingung dengan adanya “orang
asing” itu. Padahal salah satu nama yang disebutkan Asep sebagai saudara kandung
almarhum ayahnya adalah ibu kandungnya sendiri. Karena baginya sebagai orang Dayak sangatlah aneh dan tidak mungkin kalau ia bisa mempunyai saudara sepupu sekali
Urang Banjar, sedangkan tidak satupun saudara kandung ayah atau ibunya pernah
menikah dengan Urang Banjar. Setelah
melalui perkenalan kekeluargaan, dapat diketahui memang almarhum ayahnya Asep
adalah orang Dayak asli kelahiran Sungei
Kayu, sedangkan ibunya orang Bugis.
Namun ketika ditanya bagaimana caranya
bisa menjadi Urang Banjar , Asep hanya
tertawa dengan wajah bingung.
Begitu juga dengan saudara-saudara Dayak-nya, yang sebagian sudah memeluk agama Islam.
Kebingungan Asep dan
saudara-saudaranya, merupakan titik pangkal dari tulisan ini. Memang ada beberapa tulisan yang
menginformasikan bahwa kalau orang Dayak memeluk agama Islam maka ia akan
menjadi Urang Banjar (Ukur 1971:1983-84, Hudson 1972: 12; 1967: 25-6, Garang
1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72).
Namun tulisan-tulisan itu tidak ada
memuat penjelasan tentang apa dan bagaimana hubungan agama (Islam)
dengan pembentukan identitas satu etnis (Banjar). Etnis Banjar dilihat sebagai
satu yang given – sesuatu dari
sananya. Pandangan ini seolah-olah ingin
mengatakan: “Karena Islam maka menjadi Banjar, dan karena Banjar maka
Islam”. Di sinilah kelemahan pendekatan
primordialisme, di mana kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh
gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial. Akibatnya adalah akan ada orang yang menjadi etnis tertentu
bukan karena pilihan dirinya sendiri. Dalam
konteks Kalimantan Selatan, pendekatan
primordialisme memunculkan beberapa
pertanyaan misalnya:
- Apakah Urang Banjar merupakan produk kehadiran
Islam di tengah masyarakat Kalimantan
Selatan atau merupakan hasil dari proses sosial-politik etnis setempat ?
- Sejak kapan
dan bagaimana Banjar menjadi
identitas suku sekaligus identitas agama?
- Apakah betul sebagai konsep agamis dan kultural, penamaan Banjar adalah
untuk menunjukkan perbedaan antara
orang (Dayak) yang telah berislam, dengan orang (Dayak)
yang belum/tidak beragama Islam (lih. Salim 1996:227)
No comments:
Post a Comment