Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR

IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN

(Bagian 1)



Of Borneo’s total population of 12 million,  
only about one fourth  are classified
as Dayaks—the rest are Malays.  
Ninenty percent of the so called Malays,
all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks
(Karl Muller, Introducing Kalimantan
Penerbit Periplus Edition, 47)


Abstract:
Banjar  or Bandar, in the begining, is  the name of  a small kampong in estuary of  the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of  an ethnic group and  Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology that is with the existence of adagium “Islam is Banjar and Banjar is Islam.”   Banjar have come to the concept of  religious and cultural, naming Banjar is to show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem.   This article wish to re-trace  Banjar as distinguishing ideology  by re-read the Hikayat Bandjar, and studies  bearing theory that  “Banjar is Islam and Islam is Banjar.” 



Pendahuluan

Sei KayuPada bulan Juni 2004,  seorang laki-laki yang bernama Asep datang ke Sungei Kayu, perkampungan orang Dayak Ngaju yang berada di pinggir sungai Kapuas, Kalimantan Tengah.   Dengan bahasa Banjar yang kental, ia mengaku dirinya sebagai Urang Banjar, tinggal di Banjarmasin tepatnya di belakang Pasar Pandu dan tujuan kedatangannya adalah untuk mencari saudara-saudara kandung almarhum ayahnya.  Singkang, penduduk asli Sungei Kayu,  orang pertama tempat Asep bertanya,  bingung dengan adanya “orang asing”  itu.  Padahal salah satu nama yang  disebutkan Asep sebagai saudara kandung almarhum ayahnya adalah ibu kandungnya sendiri.   Karena baginya sebagai orang Dayak  sangatlah aneh dan tidak mungkin  kalau ia bisa mempunyai saudara sepupu sekali Urang Banjar, sedangkan tidak satupun saudara kandung ayah atau ibunya pernah menikah dengan Urang Banjar.  Setelah melalui perkenalan kekeluargaan, dapat diketahui memang almarhum ayahnya Asep adalah orang Dayak asli kelahiran Sungei  Kayu, sedangkan ibunya orang Bugis.   Namun ketika ditanya bagaimana caranya  bisa menjadi  Urang Banjar ,  Asep hanya  tertawa dengan wajah bingung.  Begitu juga dengan saudara-saudara Dayak-nya,  yang sebagian sudah memeluk agama Islam.

Kebingungan Asep dan saudara-saudaranya, merupakan titik pangkal dari tulisan ini.  Memang ada beberapa tulisan yang menginformasikan bahwa kalau orang Dayak memeluk agama Islam maka ia akan menjadi Urang Banjar (Ukur 1971:1983-84, Hudson 1972: 12; 1967: 25-6, Garang 1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72).   Namun tulisan-tulisan itu tidak ada  memuat penjelasan tentang apa dan bagaimana hubungan agama (Islam) dengan pembentukan identitas satu etnis (Banjar). Etnis Banjar dilihat sebagai satu yang  given – sesuatu dari sananya.  Pandangan ini seolah-olah ingin mengatakan: “Karena Islam maka menjadi Banjar, dan karena Banjar maka Islam”.  Di sinilah kelemahan pendekatan primordialisme, di mana kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial.  Akibatnya adalah  akan ada orang yang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya sendiri. Dalam konteks  Kalimantan Selatan, pendekatan primordialisme  memunculkan beberapa pertanyaan misalnya:

  • Apakah Urang Banjar merupakan produk kehadiran Islam di tengah masyarakat  Kalimantan Selatan atau merupakan hasil dari proses sosial-politik  etnis setempat ?
  •  Sejak kapan  dan bagaimana Banjar  menjadi identitas suku sekaligus identitas agama?
  • Apakah betul sebagai konsep  agamis dan kultural, penamaan Banjar adalah untuk menunjukkan  perbedaan antara orang  (Dayak)  yang telah berislam, dengan orang (Dayak) yang belum/tidak beragama Islam (lih. Salim 1996:227)

No comments:

Post a Comment