Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 4)



Kontrak Politik Pangeran Samudera

Dari paparan di atas tampak bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh Demak merupakan titik awal pada pembentukan identitas baru.  Tentu saja  proses itu dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu.  Penelusuran motif-motif itu  akan membawa kita pada kepentingan-kepentingan yang ada di balik kenapa  Banjar dan Islam harus menjadi identitas suku dan agama.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, berdirinya Kesultanan Islam Banjar   bermula dari  konflik perebutan kekuasaan antara paman (Pangeran Tumenggung) dan keponakan (Pangeran Samudera) di Kerajaan Negara Daha (cikal-bakal Kesultanan Banjar) pada abad 16.  Sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumenggung (Ras 1968: 21-53, Usman,  Gazali 1998:22). Di sisi lain, Demak-Islam memang sangat berambisi menghabisi sisa-sisa Majapahit-Hindu, sehingga bersedia menolong Pangeran Samudera.  Kontrak politik  itu  mempunyai nilai yang sangat strategis tidak hanya bagi Pangeran Samudera yang pada waktu secara militer lemah, tetapi juga bagi  Kesultanan Demak yang pada waktu  itu sedang terlibat persaingan seru dengan para pedagang Portugis. Untuk menghempang pedagang Portugis, Demak harus meng-Islam-kan  wilayah Kesultanan Banjar  yang pada waktu itu  merupakan salah satu pelabuhan penting di jalur perdagangan  para pedagang Portugis ketika menuju Maluku (Schrieke 1957:233-236, bandingkan  Idwar Saleh 1975:31).  Kontrak politik yang dilakukan oleh Pangeran Samudera  merupakan tonggak awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar yang dalam bahasa politik moderen dapat  dikatakan merupakan sebuah negara agama.  Hal ini dikatakan demikian karena sejak itu Islam telah menjadi agama negara. Islam tidak hanya menjadi agama pribadi Sang Sultan Banjar  tetapi juga menjadi  agama resmi kerajaan  (Daud, Alfani 1997: 48)). 
Dalam bingkai tradisi perpolitikan Jawa yang cenderung mengkombinasikan kekuatan militer yang tangguh dengan upaya legitimasi yang bersumber pada budaya keagamaan,   “modal”  untuk  melakukan kontrak politik dengan Demak bukanlah sekedar  intan 10 biji, pekat 1,000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul[1]  tetapi  “ketertundukkan” (mangawula),  relasi  “kawula-gusti”  dimana Banjarmasin bersedia menjadi pusat pengembangan Islam dan menjadi mata rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis, sesuai politik Demak (Idwar Saleh 1975:31, 33).   Banjarmasin menjadi basis untuk dakwah ke pedalaman.  Dalam perkembangan selanjutnya, selain Banjarmasin, Marabahan, Martapura dan Amuntai juga menjadi pusat penyebaran Islam.   Kemudian, secara politis, Banjarmasin yang baru muncul ini menjadi salah satu rantai  perlawanan Islam di nusantara dalam rangka pertahanan bersama kerajaan-kerajaan Islam untuk menghadapai Portugis  yang beragama Katolik  Memang Banjarmasin telah selesai berperang dengan “musuh lokal” yaitu Kerajaan Hindu Daha yang berada di pedalaman, namun kini ia terseret ke gelanggang pertarungan internasional dengan  mendapat “musuh”  baru  yaitu  Portugis yang oleh  Idwar Saleh  (1958: 16)  disebut sebagai “armada yang mengimpor ‘penyakit perang salib’ ke Asia,” atau oleh  Th.  van den End (2001: 24) digambarkan sebagai berikut “orang-orang yang mempunyai dendam politik dan religius terhadap Islam”:
Portugis (dan juga Spanyol)  telah dijajah  berabad-abad lamanya oleh orang Islam, dan mereka memperoleh kemerdekaan  setelah perang yang panjang.  Pengalaman sejarah itu membuat mereka yakin bahwa merekalah bangsa yang paling setia kepada agama Kristen Katolik.  Merasa superior, bukan berdasarkan ras melainkan berdasarkan agama mereka.  Dan mereka merasa terpanggil untuk mempertahankan agama Kristen terhadap musuh-musuhnya, dan menyiarkan iman ke mana-mana.  Untuk itu, perang merupakan alat yang wajar.  Menurut pandangan mereka, musuh utama adalah Islam, tetapi orang kafir perlu dihadapi pula.  Dalam pada itu, tidak ada bagi mereka perbedaan azasi antara penyiaran iman dan perluasan wilayah pengaruh Spanyol/Portugis.  Mengkristenkan sama dengan me-spanyol-kan dan me-portugis-kan.

Dalam konteks kepentingan menghadapi invasi Portugis (mungkin juga Inggris dan Belanda) inilah kita melihat pentingnya Islam sebagai ideologi.  Dalam konteks  melawan penindas, Islam memang harus menjalankan fungsi integratifnya yaitu menjadi ideologi pemersatu, seperti yang dikatakan oleh Idwar Saleh bahwa “Ketika tahun 1521, cahaya matahari Wilwatika sudah pudar, tenggelam di kaki langit keruntuhannya, Islam sebagai ideologi telah berkembang di Indonesia, akibat keadaan motif politik yang menguasainya. Ia merupakan alat politik yang tajam bagi raja-raja bandar Nusantara” (1958: 16).   Sebelum tiba pada kesimpulan, mari sejenak kita lihat sisi lain dari kontrak politik yang telah dilakukan oleh Pangeran Samudera dan  pengalaman kesultanan Banjarmasin  dengan para Portugis dalam kancah perdagangan dan penyebaran agama di daerah pedalaman Kalimantan Selatan dan Tengah yang pada waktu itu dikenal dengan istilah Borneo Selatan.



[1] Dalam tradisi diceriterakan bahwa  ketika berperang melawan pamanya Pangeran Tumanggung raja Negara Daha, Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya.  Atas usul Patih Masih,  Pangeran Samudera meminta bantuan pada kerajaan Islam Demak, dengan mengirim sepucuk surat yang dibawa oleh Patih Balit.  Isi surat itu adalah: “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin  mencatu nugraha minta tatulung bantu tatayang sampian, karena putera andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumanggung.  Tiada dua-dua putra andika mencatu nugraha minta tatulung bantu tatayang sampian.  Adapun  lamun manang puntra andika mangawula kepada sampian.  Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul...”  Lihat Ras 1968: 428.

No comments:

Post a Comment