URANG BANJAR
IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 4)
Kontrak
Politik Pangeran Samudera
Dari
paparan di atas tampak bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh Demak merupakan
titik awal pada pembentukan identitas baru.
Tentu saja proses itu
dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu.
Penelusuran motif-motif itu akan
membawa kita pada kepentingan-kepentingan yang ada di balik kenapa Banjar dan Islam harus menjadi identitas suku
dan agama.
Seperti
yang telah dipaparkan di atas, berdirinya Kesultanan Islam Banjar bermula dari
konflik perebutan kekuasaan antara paman (Pangeran Tumenggung) dan
keponakan (Pangeran Samudera) di Kerajaan Negara Daha (cikal-bakal Kesultanan
Banjar) pada abad 16. Sang keponakan
berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah
melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam
jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya
sendiri Pangeran Tumenggung (Ras 1968: 21-53, Usman, Gazali 1998:22). Di sisi lain, Demak-Islam
memang sangat berambisi menghabisi sisa-sisa Majapahit-Hindu, sehingga bersedia
menolong Pangeran Samudera. Kontrak
politik itu mempunyai nilai yang sangat strategis tidak
hanya bagi Pangeran Samudera yang pada waktu secara militer lemah, tetapi juga
bagi Kesultanan Demak yang pada
waktu itu sedang terlibat persaingan
seru dengan para pedagang Portugis. Untuk menghempang pedagang Portugis, Demak
harus meng-Islam-kan wilayah Kesultanan
Banjar yang pada waktu itu merupakan salah satu pelabuhan penting di
jalur perdagangan para pedagang Portugis
ketika menuju Maluku (Schrieke 1957:233-236, bandingkan Idwar Saleh 1975:31). Kontrak politik yang dilakukan oleh Pangeran
Samudera merupakan tonggak awal
berdirinya Kesultanan Islam Banjar yang dalam bahasa politik moderen dapat dikatakan merupakan sebuah negara agama. Hal ini dikatakan demikian karena sejak itu
Islam telah menjadi agama negara. Islam tidak hanya menjadi agama pribadi Sang
Sultan Banjar tetapi juga menjadi agama resmi kerajaan (Daud, Alfani 1997:
48)).
Dalam
bingkai tradisi perpolitikan Jawa yang cenderung mengkombinasikan kekuatan
militer yang tangguh dengan upaya legitimasi yang bersumber pada budaya
keagamaan, “modal” untuk
melakukan kontrak politik dengan Demak bukanlah sekedar intan 10 biji, pekat 1,000 galung,
tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul[1] tetapi “ketertundukkan” (mangawula), relasi
“kawula-gusti” dimana Banjarmasin
bersedia menjadi pusat pengembangan Islam dan menjadi mata rantai baru dalam
menghadapi penetrasi Portugis, sesuai politik Demak (Idwar Saleh 1975:31,
33). Banjarmasin menjadi basis untuk
dakwah ke pedalaman. Dalam perkembangan
selanjutnya, selain Banjarmasin, Marabahan, Martapura dan Amuntai juga menjadi
pusat penyebaran Islam. Kemudian,
secara politis, Banjarmasin yang baru muncul ini menjadi salah satu rantai perlawanan Islam
di nusantara dalam rangka pertahanan bersama kerajaan-kerajaan Islam untuk
menghadapai Portugis yang beragama
Katolik Memang Banjarmasin telah selesai
berperang dengan “musuh lokal” yaitu Kerajaan Hindu Daha yang berada di
pedalaman, namun kini ia terseret ke gelanggang pertarungan internasional dengan mendapat “musuh” baru
yaitu Portugis yang oleh Idwar Saleh
(1958: 16) disebut sebagai
“armada yang mengimpor ‘penyakit perang salib’ ke Asia,” atau oleh Th.
van den End (2001: 24) digambarkan sebagai berikut “orang-orang yang
mempunyai dendam politik dan religius terhadap Islam”:
Portugis
(dan juga Spanyol) telah dijajah berabad-abad lamanya oleh orang Islam, dan
mereka memperoleh kemerdekaan setelah
perang yang panjang. Pengalaman sejarah
itu membuat mereka yakin bahwa merekalah bangsa yang paling setia kepada agama
Kristen Katolik. Merasa superior, bukan
berdasarkan ras melainkan berdasarkan agama mereka. Dan mereka merasa terpanggil untuk
mempertahankan agama Kristen terhadap musuh-musuhnya, dan menyiarkan iman ke
mana-mana. Untuk itu, perang merupakan
alat yang wajar. Menurut pandangan
mereka, musuh utama adalah Islam, tetapi orang kafir perlu dihadapi pula. Dalam pada itu, tidak ada bagi mereka
perbedaan azasi antara penyiaran iman dan perluasan wilayah pengaruh
Spanyol/Portugis. Mengkristenkan sama
dengan me-spanyol-kan dan me-portugis-kan.
Dalam
konteks kepentingan menghadapi invasi Portugis (mungkin juga Inggris dan
Belanda) inilah kita melihat pentingnya Islam sebagai ideologi. Dalam konteks
melawan penindas, Islam memang harus menjalankan fungsi integratifnya
yaitu menjadi ideologi pemersatu, seperti yang dikatakan oleh Idwar Saleh bahwa
“Ketika tahun 1521, cahaya matahari Wilwatika sudah pudar, tenggelam di kaki
langit keruntuhannya, Islam sebagai ideologi telah berkembang di Indonesia,
akibat keadaan motif politik yang menguasainya. Ia merupakan alat politik yang
tajam bagi raja-raja bandar Nusantara” (1958: 16). Sebelum tiba pada kesimpulan, mari sejenak
kita lihat sisi lain dari kontrak politik yang telah dilakukan oleh Pangeran
Samudera dan pengalaman kesultanan
Banjarmasin dengan para Portugis dalam
kancah perdagangan dan penyebaran agama di daerah pedalaman Kalimantan Selatan
dan Tengah yang pada waktu itu dikenal dengan istilah Borneo Selatan.
[1]
Dalam tradisi diceriterakan bahwa ketika
berperang melawan pamanya Pangeran Tumanggung raja Negara Daha, Pangeran
Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan
pengikutnya. Atas usul Patih Masih, Pangeran Samudera meminta bantuan pada
kerajaan Islam Demak, dengan mengirim sepucuk surat yang dibawa oleh Patih
Balit. Isi surat itu adalah: “Salam
sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin
mencatu nugraha minta tatulung bantu tatayang sampian, karena putera
andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumanggung. Tiada dua-dua putra andika mencatu nugraha
minta tatulung bantu tatayang sampian.
Adapun lamun manang puntra andika
mangawula kepada sampian. Maka
persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu
buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul...” Lihat Ras 1968: 428.
No comments:
Post a Comment