Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 6)



Penutup: Kenapa Asep Menjadi Banjar?

Tulisan ini telah mengajak kita mengembara ke masa awal berdirinya kerajaan Banjar yang oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian ke sepotong peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan  melihat sejenak pada perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik  pada akhir abad 17.  Tak dapat disanggah tulisan ini belum lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka,  karena ada banyak bagian-bagian penting yang masih belum dibahas sehubungan dengan munculnya kelompok etnik Banjar sebagai satu kekuatan sosial, politik dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya  peranan pemerintah kolonial Belanda  dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen sebagai kelompok antagonis  untuk menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11), peranan kelompok etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988)   adalah Dayak Islam yang gencar melawan Belanda dan menurut Schawaner (1853)  telah menjadi Islam sebelum ada Kesultanan Islam Banjar.  Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang dapat dikatakan  melalui tulisan ini:
Pertama, bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar  belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar.  Menurut  Hikajat Bandjar   yang ada pada waktu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain.   Pengamatan jeli terhadap proses awal  berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu,  akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam)  mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas, karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang suku Banjar.   Idward Saleh (1991: 2) menolak pendapat ini, dengan tegas dinyatakan:

Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Belandian, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan.  Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan.  Kelompok ini diberi agama baru yaitu Agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama.  Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan Politik, seperti bangsa Indonesia.

Ataukah telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J. Ras, yaitu pada kalimat  Tanjung Pura as a name for the oldest Bandjarese kraton  ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan “masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura”.  Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist   terbentang  bagaikan jaring laba-laba  halus yang menjerat  dengan tanpa disadari.  Johannes Jacobus Ras, orang Belanda kelahiran Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis Disertasi doktoralnya di Leiden University ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah orang-orang Belanda, minimal untuk sang promotor Prof. Dr. A. Teeuw.    Karena itu,  ia mesti memakai bahasa, istilah atau idiom-idiom atau imaji-imaji yang dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang guru besar di Universitas Leiden Belanda (orang Belanda lagi) bahwa: “Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu.  Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang  beragama Islam dan bukan orang Dayak” (Niewenhuis 1894: 16).  Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (lagi-lagi orang Belanda dan tamatan Leiden)  bahwa “Suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu” (Mallinckrodt 1928: 48).   Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu.  Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar  atau sebagai the oldest Bandjarese.  
Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa yang dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas Sastra Universitas Leiden, sebagai  the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras 1968: 8).  Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya  James T. Collins, Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa Melayu tidak harus  dituturkan  oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins 2003: v).   Jerat halus “Leiden Gang” ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur bahasa Melayu atau orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar,  kesimpulan yang sempit dan sederhana ini diderivasi dengan  mengatakan “Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama” atau “Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku”(contohnya lih. Salim 1996:227).  Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa  “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar”.  Namun adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins:
Konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara.  Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam.  Alam Melayu bukan konsep etnis karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu.  Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu.  Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat.  Sayangnya, banyak ahli “Dunia Melayu” dan pakar “Nusantara” seakan-akan tidak menyadari diversitas itu.  Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana.  Pernah saya mendengar seorang “ahli” sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris!  Rupanya “ahli” itu belum pernah ke Pulau Bali. (Collins 2003: vii-viii).

Di sini tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan fakta empirik di lapangan.  Seperti yang terjadi di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, ada banyak  keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan beragama     Kristen.  Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam yang memakai bahasa Ngaju sebagai bahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka tetap Dayak dan tetap Islam.  Contoh lain juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok non-muslim yang  berbicara menggunakan bahasa Melayu yang berasal dari  Sumatera Selatan asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti contoh lain yang dipaparkan Collins (2003: xv) bahwa orang Bosnia yang memeluk agama Islam 500 tahun yang lalu tetap berbahasa Bosnia dan beretnis Bosnia.  Masyarakat Kurd di Asia Barat menganut agama Islam tetapi tidak pernah meninggalkan bahasa Kurdi mereka. 
Kajian mengenai Banjar  telah mencapai puncak status quo ketika adigium “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar” dikerek tinggi kepuncak hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman.  Ketika berbicara mengenai  studi Islam Banjar, Hairus Salim mengindikasikan status quo  itu sebagai kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43).
Menurut saya untuk  mengkaji Banjar  pertama-tama kita harus menetralkan karakter status quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang Banjar sendiri, sebelum  mereka bertemu dengan teks-teks Barat yang sarat dengan ide-ide kolonial dari para indolog dan orientalist.   Hal ini tentu saja sejalan dengan pikiran postkolonial Edward  W. Said dalam bukunya  Orientalisme yang memaparkan bagaimana Barat  mendominasi, mendaur-ulang  Timur untuk kemudian menguasainya.  Barat, tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi  juga mencipta Timur.  Dalam kalimat Edward Said “bahwa budaya Barat mampu mengatur – bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif” (Said 2001: 4).   Dengan kata lain, harus ada kesadaran bahwa teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan untuk mengatakan inilah Urang Banjar  sesungguhnya  kental dengan nuansa kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti, merepresentasikan Urang Banjar  secara sewenang-sewenang. 
Jadi memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar  itu.   Memang  harus ada kesungguhan untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks Barat itu sebab seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson “bahwa pertindihan kapitalisme dan teknologi cetak-mencetak dengan keragaman fatal bahasa manusia telah menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas imajiner” (Anderson 1999: 84). Karena itulah maka  “komunitas imajiner” yang bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus Asep di atas,   memanglah berlawanan, paling sedikit beda, dengan dunia empirik.
            Kedua, tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil berwajah ganda, positif sekaligus negatif.  Demikian juga dengan sejarah Banjar ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak.  Selain menganut Islam dan menang perang, ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu  hancur, lenyap dan runtuhnya  satu fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan.   Tim editor Sejarah Banjar memaparkan  sisi lain  dari    “ketertundukkan” itu  dengan kalimat “Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya.  Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya”.(2003: 68, bandingkan Usman  1994: 33).  Hal yang senada juga diungkapkan oleh  Idward Saleh dengan mengatakan “bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran  dan perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm) umat Hindu sehingga rakyat tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang apa  sebenarnya bentuk candi dan fungsinya” (1983/1984: 24). Di sini sejarah  memang selalu memperlihatkan jejak-jejak penaklukan atau penghancuran tatanan lama oleh tatanan baru yang datang dari luar. 
Sisi lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah   Banjarmasin dilibatkan untuk melawan musuh Demak yaitu Portugis.  Karena itu Banjarmasin dituntut untuk membangun  komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai oposisi dari Portugis yang Katolik.  Di sini borok Perang Salib dipentaskan dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri  wacana kafir dan tidak kafir, insider dan outsider, in group dan outgroup.  Namun sangat tidak disadari bahwa ketika kesultanan Banjar mencoba membangun  komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam maka pada  saat yang sama, secara tidak langsung, ia juga sedang  membangun etno-religi yang lain, yaitu Katolik Dayak di daerah pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa pergulatan antara Muslim Banjar dan Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah ada sebelumnya pada kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada sekadar simbol persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan politik yang lain yaitu Katolik.   Dalam pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan non-Banjar serta Dayak dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya konsep bahwa Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar.    Dengan demikian, kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil  jalan-jalan para Melayu diaspora yang konon datang dari Sriwijaya, tetapi lebih  merupakan produk dari sebuah proses sosial-politis beberapa kelompok  masyarakat,  yang kehidupan ekonominya didasarkan pada eksploitasi daerah pedalaman dan perdagangan internasional, dan kemudian menjadikan  Islam sebagai “spirit” pemersatu sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau  orang-orang Ngaju  yang seagama dengan orang Portugis.  Namun kesimpulan ini bukan barang baru.  Secara sayup-sayup kurang lebih 20 tahun yang telah liwat,  Idwar Saleh  menulis:
Untuk proses perkembangan selanjutnya agama Islam berfungsi mempersatukan kelompok atau memisahkan dan menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, antara orang Banjar dan bukan BanjarJadi waktu masih belum ada agama Islam dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan suku-suku ini.  Waktu agama Islam masuk mulailah pemisahan itu.  (bold dari penulis—MM) (1983/1984: 11) 

Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah komunitas kultural tetapi lebih kepada  komunitas politik, di mana di dalamnya bisa ada banyak kultur dan etnis.
Ketiga, bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang menempatkan Marhum Panembahan,  Sultan Islam Banjar ke-4,  sebagai salah satu pantheon di Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar  bukanlah satu istilah yang  monokultur. Di dalamnya  ada Islam Ngaju (dan juga Islam Bakumpai), karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam.  Kembali diperlihatkan satu kenyataan lain, ternyata baik Islam maupun Banjar  tidak  menjadi melting pot  atau kuali padodolan  yang bertujuan meyeragamkan semua pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi salad bowl atau piring gado-gado.  Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur menjadi satu meninggalkan identitas asalnya untuk  kemudian luluh dalam Melayu yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat Banjar.  Minimal pada periode Marhum Panembahan kita bisa melihat  ada wajah Ngaju atau Biaju mendominasi istana kesultanan Banjar.  Hal ini memang menjadi fakta yang  mendekonstruksi ide oposisi biner warisan kolonial  yang mengatakan bahwa Dayak itu non-Muslim dan Banjar itu Muslim.  Ternyata bahwa, sejak abad ke-17  di “ring satu”  istana Kesultananan Banjar,  Dayak tidak hanya non Muslim tetapi juga Muslim (dan Banjar). 
Sehubungan dengan adanya oposisi binner warisan kolonial itu, sebagai orang yang hidup pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau jargon "Banjar itu Islam, Islam itu Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti secara historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari berbagai catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para tentara Demak  datang ke Banjarmasin dan memperkaribkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah melembaga rupa-rupa keyakinan dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam. Demikian pula secara sosiologis kita dapat merasakan bahwa jargon tersebut seperti memendam kecenderungan untuk tidak toleran terhadap keberagaman Banjar. Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan serupa bianglala. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri.

           Pada sisi lain, fakta ini juga  memperlihatkan bahwa di antara oposisi binner  yang bertentangan itu terdapat ambiguitas atau  ruang celah yang menjadi wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang sempit itu, yang adalah penjara kenangan masa lalu, terdapat saudaraku Asep  yang harus menjadi Banjar.   Akhirnya dapat dimengerti kenapa Asep bingung ketika ditanya “Kenapa menjadi Banjar?”.  




Banjarmasin 10 Oktober 2004

1 comment: