URANG BANJAR
IDENTITAS DAN
ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 6)
Penutup:
Kenapa Asep Menjadi Banjar?
Tulisan
ini telah mengajak kita mengembara ke masa awal berdirinya kerajaan Banjar yang
oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian ke sepotong
peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan
melihat sejenak pada perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik pada akhir abad 17. Tak dapat disanggah tulisan ini belum
lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka, karena ada banyak bagian-bagian penting yang
masih belum dibahas sehubungan dengan munculnya kelompok etnik Banjar sebagai
satu kekuatan sosial, politik dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya peranan pemerintah kolonial Belanda dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen
sebagai kelompok antagonis untuk
menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11), peranan kelompok
etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988) adalah Dayak Islam yang gencar melawan
Belanda dan menurut Schawaner (1853)
telah menjadi Islam sebelum ada Kesultanan Islam Banjar. Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang
dapat dikatakan melalui tulisan ini:
Pertama,
bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar belum ada etnis atau kelompok etnis
Bandjar. Menurut Hikajat Bandjar yang ada pada waktu adalah orang-orang Jawa,
Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain. Pengamatan jeli terhadap proses awal berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila
dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu, akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat
orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam) mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan
Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas,
karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang
suku Banjar. Idward Saleh (1991: 2)
menolak pendapat ini, dengan tegas dinyatakan:
Ketika Pangeran Samudera mendirikan
kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti
patih Belandian, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang
Bakumpai yang dikalahkan. Demikian pula
penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan. Kelompok ini diberi agama baru yaitu Agama
Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia
memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama. Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis
tetapi kesatuan Politik, seperti bangsa Indonesia.
Ataukah
telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J.
Ras, yaitu pada kalimat Tanjung
Pura as a name for the oldest Bandjarese kraton ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan
“masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan
Tanjungpura”. Di sinilah imajinasi
kolonial kaum indologist terbentang bagaikan jaring laba-laba halus yang menjerat dengan tanpa disadari. Johannes Jacobus Ras, orang Belanda kelahiran
Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis Disertasi doktoralnya di Leiden
University ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah
orang-orang Belanda, minimal untuk sang promotor Prof. Dr. A. Teeuw. Karena itu, ia mesti memakai bahasa, istilah atau
idiom-idiom atau imaji-imaji yang dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu
imajinasi populer kolonial terhadap penduduk pulau Kalimantan adalah seperti
yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang guru besar di Universitas Leiden Belanda
(orang Belanda lagi) bahwa: “Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang
bukan orang Melayu. Orang Melayu ialah
penduduk asli pulau Borneo yang beragama
Islam dan bukan orang Dayak” (Niewenhuis 1894: 16). Atau seperti yang dipaparkan oleh
Mallinckrodt (lagi-lagi orang Belanda dan tamatan Leiden) bahwa “Suku Banjar adalah suatu nama yang
diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu” (Mallinckrodt 1928: 48). Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar
adalah salah satu dari suku Melayu.
Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi
sebagai Banjar atau sebagai the
oldest Bandjarese.
Pendapat
bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa yang
dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas Sastra
Universitas Leiden, sebagai the
Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras
1968: 8). Namun pendapat ini disanggah
oleh para ahli Melayu moderen, misalnya
James T. Collins, Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti
Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa Melayu tidak harus dituturkan
oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung Kristen di
Pulau Ambon (Collins 2003: v). Jerat
halus “Leiden Gang” ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur
bahasa Melayu atau orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan
mengenai Banjar, kesimpulan yang sempit
dan sederhana ini diderivasi dengan
mengatakan “Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku,
tapi juga agama” atau “Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku”(contohnya
lih. Salim 1996:227). Sehingga muncul
kesan yang kuat bahwa “Banjar adalah
Islam dan Islam adalah Banjar”. Namun
adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins:
Konsep Alam Melayu adalah konsep
kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia
Tenggara. Alam Melayu tidak identik
dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama
Islam. Alam Melayu bukan konsep etnis
karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu. Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada
wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu. Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu
memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa dan
masyarakat. Sayangnya, banyak ahli
“Dunia Melayu” dan pakar “Nusantara” seakan-akan tidak menyadari diversitas
itu. Biasanya mereka hanya mengungkapkan
observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana. Pernah saya mendengar seorang “ahli”
sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan
keris! Rupanya “ahli” itu belum pernah
ke Pulau Bali. (Collins 2003: vii-viii).
Di sini
tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan fakta
empirik di lapangan. Seperti yang
terjadi di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, ada banyak keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar
sebagai bahasa sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan
beragama Kristen. Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam
yang memakai bahasa Ngaju sebagai bahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka
tetap Dayak dan tetap Islam. Contoh lain
juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok non-muslim
yang berbicara menggunakan bahasa Melayu
yang berasal dari Sumatera Selatan
asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti contoh lain yang
dipaparkan Collins (2003: xv) bahwa orang Bosnia yang memeluk agama Islam 500
tahun yang lalu tetap berbahasa Bosnia dan beretnis Bosnia. Masyarakat Kurd di Asia Barat menganut agama
Islam tetapi tidak pernah meninggalkan bahasa Kurdi mereka.
Kajian
mengenai Banjar telah mencapai puncak status
quo ketika adigium “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar” dikerek tinggi
kepuncak hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman. Ketika berbicara mengenai studi Islam Banjar, Hairus Salim
mengindikasikan status quo itu
sebagai kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa
dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43).
Menurut
saya untuk mengkaji Banjar pertama-tama kita harus menetralkan karakter status
quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang Banjar
sendiri, sebelum mereka bertemu dengan
teks-teks Barat yang sarat dengan ide-ide kolonial dari para indolog dan
orientalist. Hal ini tentu saja sejalan
dengan pikiran postkolonial Edward W.
Said dalam bukunya Orientalisme
yang memaparkan bagaimana Barat
mendominasi, mendaur-ulang Timur
untuk kemudian menguasainya. Barat,
tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi juga mencipta Timur. Dalam kalimat Edward Said “bahwa budaya Barat
mampu mengatur – bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis,
militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif” (Said 2001: 4). Dengan kata lain, harus ada kesadaran bahwa
teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan untuk mengatakan
inilah Urang Banjar
sesungguhnya kental dengan nuansa
kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti,
merepresentasikan Urang Banjar secara sewenang-sewenang.
Jadi
memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari
imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar itu.
Memang harus ada kesungguhan
untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks Barat itu sebab seperti yang
dikatakan oleh Benedict Anderson “bahwa pertindihan kapitalisme dan teknologi
cetak-mencetak dengan keragaman fatal bahasa manusia telah menciptakan
kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas imajiner” (Anderson 1999: 84).
Karena itulah maka “komunitas imajiner”
yang bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus Asep di
atas, memanglah berlawanan, paling
sedikit beda, dengan dunia empirik.
Kedua, tulisan ini
hendak memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil berwajah ganda,
positif sekaligus negatif. Demikian juga
dengan sejarah Banjar ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak. Selain menganut Islam dan menang perang,
ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu
hancur, lenyap dan runtuhnya satu
fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan.
Tim editor Sejarah Banjar
memaparkan sisi lain dari
“ketertundukkan” itu dengan
kalimat “Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan,
kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan
Selatan sebelumnya”.(2003: 68, bandingkan Usman
1994: 33). Hal yang senada juga
diungkapkan oleh Idward Saleh dengan
mengatakan “bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran dan perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm)
umat Hindu sehingga rakyat tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang
apa sebenarnya bentuk candi dan
fungsinya” (1983/1984: 24). Di sini sejarah
memang selalu memperlihatkan jejak-jejak penaklukan atau penghancuran
tatanan lama oleh tatanan baru yang datang dari luar.
Sisi
lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah Banjarmasin dilibatkan untuk melawan musuh
Demak yaitu Portugis. Karena itu
Banjarmasin dituntut untuk membangun
komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai oposisi dari
Portugis yang Katolik. Di sini borok
Perang Salib dipentaskan dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri wacana kafir dan tidak kafir, insider
dan outsider, in group dan outgroup. Namun sangat tidak disadari bahwa ketika
kesultanan Banjar mencoba membangun
komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam maka pada saat yang sama, secara tidak langsung, ia
juga sedang membangun etno-religi yang
lain, yaitu Katolik Dayak di daerah pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa
pergulatan antara Muslim Banjar dan Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah
ada sebelumnya pada kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada
sekadar simbol persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan
politik yang lain yaitu Katolik. Dalam
pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan non-Banjar serta Dayak
dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya konsep bahwa Banjar itu Islam
dan Islam itu Banjar. Dengan demikian,
kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil jalan-jalan para Melayu diaspora yang konon
datang dari Sriwijaya, tetapi lebih
merupakan produk dari sebuah proses sosial-politis beberapa
kelompok masyarakat, yang kehidupan ekonominya didasarkan pada
eksploitasi daerah pedalaman dan perdagangan internasional, dan kemudian
menjadikan Islam sebagai “spirit”
pemersatu sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau orang-orang Ngaju yang seagama dengan orang Portugis. Namun kesimpulan ini bukan barang baru. Secara sayup-sayup kurang lebih 20 tahun yang
telah liwat, Idwar Saleh menulis:
Untuk proses perkembangan selanjutnya
agama Islam berfungsi mempersatukan kelompok atau memisahkan dan
menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, antara orang
Banjar dan bukan Banjar. Jadi
waktu masih belum ada agama Islam dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan
suku-suku ini. Waktu agama Islam masuk
mulailah pemisahan itu. (bold dari
penulis—MM) (1983/1984: 11)
Dengan
demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah
komunitas kultural tetapi lebih kepada
komunitas politik, di mana di dalamnya bisa ada banyak kultur dan etnis.
Ketiga,
bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang menempatkan
Marhum Panembahan, Sultan Islam Banjar
ke-4, sebagai salah satu pantheon di
Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar
bukanlah satu istilah yang monokultur.
Di dalamnya ada Islam Ngaju (dan juga
Islam Bakumpai), karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam. Kembali diperlihatkan satu kenyataan lain,
ternyata baik Islam maupun Banjar
tidak menjadi melting pot atau kuali padodolan yang bertujuan meyeragamkan semua
pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi salad
bowl atau piring gado-gado.
Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur menjadi satu
meninggalkan identitas asalnya untuk
kemudian luluh dalam Melayu yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat
Banjar. Minimal pada periode Marhum
Panembahan kita bisa melihat ada wajah
Ngaju atau Biaju mendominasi istana kesultanan Banjar. Hal ini memang menjadi fakta yang mendekonstruksi ide oposisi biner warisan
kolonial yang mengatakan bahwa Dayak itu
non-Muslim dan Banjar itu Muslim.
Ternyata bahwa, sejak abad ke-17
di “ring satu” istana
Kesultananan Banjar, Dayak tidak hanya
non Muslim tetapi juga Muslim (dan Banjar).
Sehubungan
dengan adanya oposisi binner warisan kolonial itu, sebagai orang yang hidup
pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau jargon "Banjar
itu Islam, Islam itu Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti secara
historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari berbagai
catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para tentara
Demak datang ke Banjarmasin dan
memperkaribkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah
melembaga rupa-rupa keyakinan dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam.
Demikian pula secara sosiologis kita dapat merasakan bahwa jargon tersebut
seperti memendam kecenderungan untuk tidak toleran terhadap keberagaman Banjar.
Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan
serupa bianglala. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya
sendiri.
Pada sisi lain,
fakta ini juga memperlihatkan bahwa di
antara oposisi binner yang bertentangan
itu terdapat ambiguitas atau ruang celah
yang menjadi wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang
sempit itu, yang adalah penjara kenangan masa lalu, terdapat saudaraku
Asep yang harus menjadi Banjar. Akhirnya dapat dimengerti kenapa Asep
bingung ketika ditanya “Kenapa menjadi Banjar?”.
Banjarmasin 10 Oktober 2004
Tulisan yang bagus dan memberikan pencerahan
ReplyDelete