Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR

IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN

(Bagian 1)



Of Borneo’s total population of 12 million,  
only about one fourth  are classified
as Dayaks—the rest are Malays.  
Ninenty percent of the so called Malays,
all of the Muslim faith, are Islamized Dayaks
(Karl Muller, Introducing Kalimantan
Penerbit Periplus Edition, 47)


Abstract:
Banjar  or Bandar, in the begining, is  the name of  a small kampong in estuary of  the Kuwin River-South Borneo that functioning as a small port. Kampong that led by Patih Masih, in growth hereinafter become the identity of  an ethnic group and  Islam empire. More than that Banjar become a distinguishing ideology that is with the existence of adagium “Islam is Banjar and Banjar is Islam.”   Banjar have come to the concept of  religious and cultural, naming Banjar is to show the difference between Islam people anda Dayak people who are not Moslem.   This article wish to re-trace  Banjar as distinguishing ideology  by re-read the Hikayat Bandjar, and studies  bearing theory that  “Banjar is Islam and Islam is Banjar.” 



Pendahuluan

Sei KayuPada bulan Juni 2004,  seorang laki-laki yang bernama Asep datang ke Sungei Kayu, perkampungan orang Dayak Ngaju yang berada di pinggir sungai Kapuas, Kalimantan Tengah.   Dengan bahasa Banjar yang kental, ia mengaku dirinya sebagai Urang Banjar, tinggal di Banjarmasin tepatnya di belakang Pasar Pandu dan tujuan kedatangannya adalah untuk mencari saudara-saudara kandung almarhum ayahnya.  Singkang, penduduk asli Sungei Kayu,  orang pertama tempat Asep bertanya,  bingung dengan adanya “orang asing”  itu.  Padahal salah satu nama yang  disebutkan Asep sebagai saudara kandung almarhum ayahnya adalah ibu kandungnya sendiri.   Karena baginya sebagai orang Dayak  sangatlah aneh dan tidak mungkin  kalau ia bisa mempunyai saudara sepupu sekali Urang Banjar, sedangkan tidak satupun saudara kandung ayah atau ibunya pernah menikah dengan Urang Banjar.  Setelah melalui perkenalan kekeluargaan, dapat diketahui memang almarhum ayahnya Asep adalah orang Dayak asli kelahiran Sungei  Kayu, sedangkan ibunya orang Bugis.   Namun ketika ditanya bagaimana caranya  bisa menjadi  Urang Banjar ,  Asep hanya  tertawa dengan wajah bingung.  Begitu juga dengan saudara-saudara Dayak-nya,  yang sebagian sudah memeluk agama Islam.

Kebingungan Asep dan saudara-saudaranya, merupakan titik pangkal dari tulisan ini.  Memang ada beberapa tulisan yang menginformasikan bahwa kalau orang Dayak memeluk agama Islam maka ia akan menjadi Urang Banjar (Ukur 1971:1983-84, Hudson 1972: 12; 1967: 25-6, Garang 1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72).   Namun tulisan-tulisan itu tidak ada  memuat penjelasan tentang apa dan bagaimana hubungan agama (Islam) dengan pembentukan identitas satu etnis (Banjar). Etnis Banjar dilihat sebagai satu yang  given – sesuatu dari sananya.  Pandangan ini seolah-olah ingin mengatakan: “Karena Islam maka menjadi Banjar, dan karena Banjar maka Islam”.  Di sinilah kelemahan pendekatan primordialisme, di mana kelompok-kelompok sosial dikarakteristikkan oleh gambaran-gambaran kewilayahan, agama, kebudayaan, bahasa dan organisasi sosial.  Akibatnya adalah  akan ada orang yang menjadi etnis tertentu bukan karena pilihan dirinya sendiri. Dalam konteks  Kalimantan Selatan, pendekatan primordialisme  memunculkan beberapa pertanyaan misalnya:

  • Apakah Urang Banjar merupakan produk kehadiran Islam di tengah masyarakat  Kalimantan Selatan atau merupakan hasil dari proses sosial-politik  etnis setempat ?
  •  Sejak kapan  dan bagaimana Banjar  menjadi identitas suku sekaligus identitas agama?
  • Apakah betul sebagai konsep  agamis dan kultural, penamaan Banjar adalah untuk menunjukkan  perbedaan antara orang  (Dayak)  yang telah berislam, dengan orang (Dayak) yang belum/tidak beragama Islam (lih. Salim 1996:227)


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 2)


Penelusuran Awal: Putra Mahkota Yang Terbuang dan Kegelisahan Politik   Patih Masih
     
Sejarah terbentuknya   kerajaan Islam Banjar berawal dari   sengketa perebutan tahta   yang terjadi di kalangan internal elite kerajaan Hindu Jawa yang bernama Negara Daha yang dipimpin oleh Maharaja Sukarama.  Menurut Hikayat Bandjar  (Ras 1968: 376-80), bibit  konflik   itu bermula dari “Keputusan Hari Sabtu” Maharaja Sukarama  yang menyatakan bahwa   tahta kerajaan diwariskan  bukan ke salah satu dari ketiga anaknya: Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bagalung, dan Pangeran Tumanggung, tetapi ke cucunya Pangeran Samudera.  Adapun Pangeran Samudera pada waktu itu masih berumur tiga tahun dan berstatus yatim-piatu karena ibunya Putri Galuh, putri bungsu dari  Maharaja Sukarama,  meninggal dunia ketika ia baru pisah susu dan ayahnya  Raden  Mantri Alu  menyusul tidak lama kemudian. Tentu saja keputusan kontroversial  itu mendapat sanggahan, menimbulkan kecemburuan bahkan  kemarahan dari ketiga pamannya, terutama  Pangeran Tumanggung.  Bagi Pangeran Tumanggung keputusan sang ayah itu menyalahi tradisi kerajaan dimana mahkota kerajaan haruslah diwariskan ke anak tertua dan bukan kepada cucu, apalagi cucu dari anak bungsu perempuan.  Namun semua keberatan itu  tak bermakna  bagi  sang ayah yang berkata “Maski bagaimana kata angkau, karana sudah ia si Samudra itu ringan bibirku”.  Sejak saat itu maka terancamlah nyawa Pangeran Samudera.
            Ketika Pangeran Samudera berumur tujuh tahun, Maharaja Sukarama meninggal dunia.   Pada saat orang sibuk mempersiapkan upacara pemakaman,  Mangkubumi Aria Taranggana;  orang kepercayaan Maharaja Sukamara  yang tahu persis akan adanya persaingan perebutan mahkota kerajaan, secara diam-diam menyuruh Pangeran Samudera melarikan diri  agar tidak dibunuh oleh sang paman; Pangeran Tumanggung.    Dengan berbekal djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambarPangeran Samudera: Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha, seiring deras arus sungai Barito pergi  sebagai seorang pelarian politik.  Peristiwa pilu yang dialami oleh Pangeran Samudera, dalam Hikayat Banjar  (Ras 1968: 382)  dituturkan dengan nada yang melankolis:
 Maka ditjarinja Raden Samudra itu.  Dapatnja, maka dilumpatkannja arah parahu talangkasan.  Maka dibarinja djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar.  Kata Aria Taranggana: “Raden Samudera, tuan hamba larikan dari sini karana tuan handak dibunuh hua tuan Pangeran Tumanggung.  Tahu-tahu manjanjamarkan diri.  Lamun tuan pagi baroleh mandjala, mana orang kaja-kaja itu tuan bari, supaja itu kasih.  Djangan tuan mangaku priaji, kalau tuan dibunuh orang, katahuan oleh  kaum Pangeran Tumanggung.  Djaka datang kabandar Muara Bahan djangan tuan diam disitu, balalu hilir, diam pada orang manjungaian itu: atawa pada orang Sarapat, atawa pada orang Balandean, atawa pada orang Bandjarmasih, atawa pada orang Kuwin.  Karana itu hampir laut maka tiada pati saba kasana kaum Pangeran Tumanggung dan Pangeran Mangkubumi, kaum Pangeran Bagalung.  Djaka ada tuan dangar ia itu kasana tuan barsambunji, kalau tuan katahuannja.  Dipadahkannja itu arah Pangeran  Tumanggung lamun orang jang hampir-hampir itu malihat tuan itu, karana sagala orang jang hampir itu tahu akan tuan itu.  Tuan hamba suruh lari djauh-djauh itu.”  Maka kata Raden Samudera: “Baiklah, aku manarimakasih sida itu.  Kalau aku panjang hajat kubalas djua kasih sida itu.”   Maka Raden Samudera itu dihanjutkannja di parahu katjil oleh Aria Taranggana itu, sarta air waktu itu baharu bunga baah.  Maka Raden Samudera itu bakajuh tartjaluk-tjaluk.  Bahalang-halang barbudjur parahu itu, karana balum tahu bakajuh

            Di atas sebuah biduk kecil, dengan menyamar  sebagai  paiwakan (nelayan), Pangeran Samudera berpetualang  di perairan  muara sungai Barito.  Ia mengembara dari kampung ke kampung yang ada di sepanjang sungai yaitu:  Sarapat,  Balandean,  Bandjarmasih, Kuwin,  Sungai Muhur, Tamban, dan Sungai Balitung  (Ras 1968: 398, Saleh  1975: 24).   Hidup  sebagai “Putera Mahkota Yang Terbuang”  itu dijalaninya bertahun-tahun yaitu   selama zamannya Maharaja Mangkubumi menjadi raja di kerajaan Negara Daha  sampai kepada zaman Pangeran Tumanggung.  Menurut Syarif Bistimy (2004: 5)  selama masa itu Pangeran Samudera memakai nama samaran Samidri.  Kehidupan yang serba prihatin itu dilakoninya dengan mantap hingga  dewasa, seperti yang tercantum dalam Hikajat Bandjar  (Ras 1968: 398).  :
Maka Raden Samudra itu tahu ia manjamarkan dirinja, tahu ia marandahkan dirinja.  Djaka baroleh malunta, mana  jang tuha-tuha kampung itu dibarinja.  Maka itu jang mambari baras; tapih, ada jang mambari kain, ada jang mambari buntil.  Sagala jang malihat itu kasih dan sajang.  Maka Raden Samudra itu sudah taruna ada jang handak maambil minantu tapi Raden Samudera itu tiada mau baristri.

Penyamaran dan kisah hidup Pangeran Samudera sebagai pelarian politik  memang tidak abadi. Setelah melalui riwayat persembunyian yang panjang, di  muara sungai Kuwin, di sebuah kampung yang  bernama Bandjar, ia bertemu dengan seorang Patih Melayu yang sarat dengan visi politik. Kampung  Bandjar atau Bandjarmasih pada waktu itu (abad 16)  merupakan satu-satunya kampung orang Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju/Dayak Ngaju  yang menggunakan bahasa Brangas (Saleh 1975: 24, 1983/84: 10, 1984: 6,  Tim Editor Sejarah Banjar 2003: 65).  Kampung ini dipimpin oleh Patih Masih (Ras 1968: 398).  Karena itu orang-orang Ngaju yang berdiam di sekitar kampung itu menyebut  orang Melayu  yang berdiam di kampung itu dengan “Oloh Masi” (bdk. Hardeland  1859: 342, 638).   Pada abad  ke-16 dan 17  kampung Bandjarmasih terletak di antara sungai  Pandai, Sigaling, Karamat,  Jagabaya, dan  Pangeran yang kesemuanya anak sungai Kuwin.  Hulu-hulu sungai itu bertemu di darat membentuk danau kecil bersimpang lima (Leirissa dkk. 1984: 58).
Karena letaknya  yang strategis, yaitu tempat bertemunya pelayaran laut dengan pelayaran sungai, maka kampung  Bandjar atau Bandjarmasih  mempunyai potensi ekonomi dan politik  yang tinggi (Saleh 1958: 26).  Apalagi pada waktu itu pelayaran dan perdagangan antar pulau sangat ramai. Di mana sejak pertengahan abad ke-16 perdagangan ke Maluku, dengan terlebih dahulu melalui Makasar, sangat ramai.  Pelayaran ini juga melewati Bandjarmasih yang menyebabkan banyak disinggahi pedagang.  Namun sayangnya potensi itu  seolah mati atau terhambat karena  bandar yang merupakan pusat niaga berada di daerah pedalaman bagian hulu, yaitu di Muara Bahan, dan  ibu kota kerajaan yang menjadi pusat  kebijakan-kebijakan berada di Kahuripan, di daerah Danau Panggang.    Ditambah lagi pada waktu itu, secara politis kampung Banjar atau Bandjarmasih merupakan kawasan pinggir karena merupakan taklukan dari Negara Daha yang dibebani dengan berbagai upeti dan pajak.   Sehubungan dengan  posisi  politis  yang tidak menguntungkan itu , menurut Idwar Saleh memang   “Bagi kampung-kampung yang terletak di sekitar kota Banjarmasin sekarang – yang mana dikuasai oleh patih Masih, Balitung, Balit, Muhur, yang lebih banyak merasakan laba perdagangan – hubungan pengakuan kuasa pada pedalaman dirasakan sebagai kerugian belaka” (1958: 34).
            Sebagai seorang pimpinan wilayah Bandjar, Patih Masih tampaknya sangat memahami situasi politik Negara Daha.  Ia tahu betul bahwa  seorang  yang mamakai tapih buruk, badju buruk, dan kupiah buruk (Ras 1968:400)  yang bersembunyi di sekitar wilayahnya adalah cucu Maharaja Sukarama, pelarian politik pewaris sah tahta kerajaan Negara Daha.  Langkah politik pertama ia ambil adalah membangun aliansi dengan para patih Dayak yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402).  Dalam sebuah pesta perjamuan  yang dihadiri kira-kira 500 orang, Pangeran Samudera yang kini sudah memakai kain jang baik-baik, kupiah jang baik serta duduk diatas katil tiada mau  (Ras 1968:400-1) diminta untuk menjadi raja dengan alasan:
Daripada kita masih mendjadi desa, santiasa kana sarah dangan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita barbuat radja, kalau ia ini jang saparti chabar orang itu tjutju Maharadja Sukarama jang diwasiatkannja mandjadi radja

Alasan untuk lepas dari kewajiban pajak dan menyerahkan upeti,  serta keinginan untuk  “tidak  lagi  berstatus desa,” itu diterima oleh Pangeran Samudera yang ditindaklanjuti dengan  merebut Bandar Muara Bahan dan memindahkan Bandar itu  dengan segala penduduknya ke Bandjarmasih.  Hal itu rupanya disambut baik oleh para pedagang yang ada di Muara Bahan, karena  memang posisi Bandjarmasih yang dekat muara sungai sangatlah  strategis dan  menguntungkan (Ras 1968: 406).
            Tentu saja  hal ini membuat murka Pangeran Tumenggung  yang  berujung pada perang terbuka antara paman dan keponakan.  Untuk meraih kemenangan, Pangeran Samudera  meminta bantuan ke Kintap, Satui, Sawarangan, Hasam-hasam, Laut Pulau, Pamukan, Pasir, Kutai, Barau, Karasikan, Biaju, Sabangau, Mandawai, Sampit, Pambuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas (Ras 1968: 408).  Bantuan yang signifikan datang dari kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai utara Jawa.  Dengan adanya bantuan itu maka sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumanggung (Ras 1968: 21-53, Usman 1998:22).  Masih menurut Hikajat Bandjar  (Ras 1968: 438) setelah berhasil menjadi raja di Bandjarmasih, oleh  orang nagri Arab, ia diberi gelar Sultan Surjanu’llah.


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 3)


Awal Kesultanan:  Mari Mendiskusikan Hikajat Bandjar

Patut diakui, seperti yang dikatakan oleh Lambut (1992: 25), bahwa pengetahuan dan penghayatan kita tentang masyarakat Kalimantan, bumi tua yang selalu terpecah belah, masih sangat sedikit dan masih sangat kaku.  Begitu juga mengenai pengetahuan kita mengenai Urang Banjar  hanyalah berkisar pada spekulasi-spekulasi para penulis Barat yang menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya sempalan Melayu  yang menurut pelbagai sumber  berasal dari salah satu tempat di semenanjung Malaka (Hudson 1956, Oppenheimer 1999, Potter 1999, dalam Lambut 2003).  Memang ada juga spekulasi yang non-Barat yang menyatakan bahwa suku Banjar adalah “Melayu yang Jawa” atau “Jawa yang Melayu”  (lihat Salim1996: 223). 
Sumber atau data sejarah untuk melacak  lahirnya etnis Banjar sangatlah terbatas sekali.  Satu-satunya buku yang terus menerus menjadi rujukan adalah Hikajat Bandjar.  Walaupun Hikajat Bandjar , oleh J.J. Ras, diklasifikasikan sebagai  “a Malay myth of origin” (Ras 1968: 93), yang artinya realiabilitas data sejarahnya diragukan,   tetapi sebagai teks sastra yang diproduk  ketika masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah sumber  valid dan patut diperhitungkan. 
Ras dengan nada hormat, karena berisi ceritera asal-asul,  menyebut Hikajat Bandjar  sebagai  teks yang semi sakral (semi-sacred text).  Ia mengatakan “...also cleary indicates that this text was originally a piece of semi-sacred, functional literature”  (Ras 1968: 93).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk awal dari  Hikajat Bandjar   adalah sastra atau tradisi lisan yang dikenal sebagai mitos asal-usul.    Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan  bahwa Hikajat Bandjar   sebagai  tradisi lisan tidak diragukan lagi sebagai sumber pengetahuan tentang masa lalu (Vansina, 1965 : X).   Memang tak dapat disanggah ada pendapat yang mengatakan bahwa Hikajat Bandjar   adalah  mitos: sekedar cerita belaka, dan tidak masul akal. Akan tetapi anggapan semacam ini dapat ditepis dengan pendapat Van Peursen (1978:37-41) bahwa “mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu  pada kelompok orang (pemiliknya), memberikan “pengetahuan tentang dunia”.  Dengan demikian Hikajat Bandjar   dapat  menjadi sumber pengetahuan tentang masa lalu  atau menjadi sumber pengetahuan tentang “pengetahuan tentang dunia” orang Kalimantan pada masa lalu.
            Hal pertama yang dapat kita katakan  mengenai  Hikajat Bandjar  adalah teks ini ditulis pada masa kesultanan Islam Banjar.  Sebagaimana tradisi Islam, ia dibuka dengan satu doxology “Bism Allâh al-rahmân al-râhim wa bihi nasta‘ în bi Allâh ‘aliy” (Ras 1968: 228).  Ini dapat diasumsikan bahwa Hikajat Bandjar   membawa satu tujuan khusus yaitu untuk menyebarkan berita-berita mengenai kesultanan Banjar Islam.  Karena itu kemenangan Pangeran Samudera , yang didukung oleh kekuatan Islam Demak, dalam perang saudara melawan Pangeran Tumenggung secara implisit adalah untuk mendemontrasikan kebesaran kesultanan Banjar Islam ketika berhadapan dengan kekuatan lain.
            Di sisi lain Hikajat Bandjar    juga dapat dilihat sebagai  upaya untuk mencari legitimasi politik dari Jawa  seperti  yang sebelumnya sudah dibuat oleh orang Kalimantan pada masa pra-Islam.  Karena itu dalam Hikajat Bandjar   dituturkan bahwa asal-asul  dan silsilah sultan Banjar pertama adalah dari Negara Dipa yang diclaim berasal dari Majapahit.  Menurut Russel Jones (1979: 153) ,  penyusunan silsilah yang mengkaitkan diri dengan raja atau tokoh-tokoh masa lampau yang pernah berkuasa  adalah hal yang biasa dilakukan oleh para raja yang baru bertahta dalam rangka mendapat pengakuan dari rakyatnya.  Menurut Sartono Kartodirjo (1992: 47) kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja  berfungsi sebagai  dasar legitimasi otoritasnya.  Karena itu, tidaklah heran kalau di dalam Hikajat Bandjar    dituturkan betapa unggulnya para leluhur yang menurunkan para elite istana, dimana dalam jajaran nenek moyang terdapat nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain (Ras 1968: 21), para saudagar kaya serta gagah berani dan para elite lokal (Ras 1968: 27).  Bahkan Putri Junjung Buih,  nenek moyang perempuan orang Dayak Ngaju  juga didaftarkan sebagai salah satu nenek moyang  raja Banjar (Ras 1968: 308-12).
            Dalam tradisi sastra kerajaan Jawa,  Hikajat Bandjar   dapat digolongkan sebagai babad yang bertujuan untuk memuliakan raja atau seseorang yang dirajakan dan menceriterakan asal usul  satu kerajaan.  Anthony Reid, yang menyebutkan bahwa Hikajat Bandjar     sebagai turunan dari tradisi Islam Jawa, mengatakan bahwa sebagai kronik Hikajat Bandjar    “tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal usul negara dengan menggunakan kekuasaan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi  proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang  dapat diterima oleh kalangan Muslim di sebagian besar dunia” (2004: 20-22).  Dalam genre babad,  Hikajat Bandjar  memang alat legitimator para raja.  Hal ini sangat diperlukan bila mengingat betapa tindakan seorang raja penggeser (usurpator)    dalam satu suksesi kerajaan akan dapat mendatangkan perasaan tidak adil dalam masyarakat.  Rasa tidak adil dalam masyarakat demikian itu harus dihindarkan jangan sampai tumbuh.  Untuk itu raja penggeser harus mengusahakan legitimasi.  Salah satu caranya adalah melalui penulisan babad atau hikayat, yang tujuannya untuk menyatakan bahwa raja penggeser itu layak dan berhak sebagai raja.  Dengan demikian  kedudukan para usurpator akan semakin kokoh, karena perasaan ketidakadilan dalam masyarakat dapat dinetralkan bahkan tindakan penggeseran itu dapat diterima (G. Moedjanto 1987: 34-6).  Kalau  kita mencermati “daftar orang hebat”  yang terdapat silsilah seperti  dipaparkan oleh Hikajat Bandjar, maka  akan tampak bahwa siapa saja yang  mau “dirangkul” atau “dijinakkan” oleh para usurpator ini (lih. Ras 168: 123).
            Dalam fungsinya sebagai legitimator dan pengaman kedudukan Raja, sangat dapat dimengerti kalau ada beberapa bagian dari Hikajat Bandjar, misalnya perkelahian antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, sengaja dibuat “tampil agung dan cantik”.    Sebab sangat ironis  kalau Sultan Islam Banjarmasin yang pertama digambarkan sebagai orang sadis yang tega membunuh paman kandungnya sendiri.   Dalam semangat anti hegemoni Jawa, terkadang  bagian ini  dapat dikatakan sebagai bagian yang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bagaimana pusat kerajaan Jawa di Nagara Daha  ditaklukkan  tanpa melalui peperangan.
            Sebagai produk pujangga istana, menarik untuk dicermati bahwa Hikajat Bandjar    memang berbicara tentang sejarah awal  pengislaman kaum istana tetapi  sama sekali tidak ada bertutur  mengenai sejarah urang Banjar.  Memang ada banyak kata Bandjar, basa Bandjar, kota Bandjar, nagri Bandjar, atau  radja Bandjar  (Ras 1968: 533) disebutkan, namun sama sekali tidak untuk menunjuk pada etnik Banjar tetapi untuk menunjukkan sekelompok orang yang tinggal di satu wilayah kampung yang dikenal sebagai  Bandjarmasih, di muara sungai Kuwin.  Scott (1913:313-44 dalam Azra 2004: 315) menggambarkan bahwa meskipun Islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk.  Para pemeluk Islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; Islam hanya  mampu masuk secara perlahan ke kalangan suku Dayak.  Karena itu tidaklah heran kalau dalam Hikajat Bandjar    orang-orang yang tinggal di Pamukan, Hasam-hasam, Kintap, Takisung dan Tabuniau tidaklah disebut  sebagai orang Banjar.  (Ras 1968: 430).  Bahkan orang-orang yang berdiam di Sarapat, Balandean, dan Kuwin juga tidak disebutkan atau dibedakan dari orang Banjar atau orang  Bandjarmasih (Ras 1968:382). 
Mengenai  basa Bandjar pun  dinyatakan beda dengan bahasa Melayu, yaitu ketika Patih Masih akan berkata kepada Raden Samudera yang sedang menyamar dikatakan  “Adapun kata kamudian dikatakan kata basa Bandjar, tiada itu basa Malaju”. (Ras 1968:400).  Ras menyebut bahasa yang dipergunakan dalam Hikajat Bandjar   dengan istilah the Bandjarese colloquial,  dimana di dalamnya terdapat banyak kata yang bukan bahasa Melayu maupun bahasa Banjar yang dipergunakan pada waktu itu, tetapi bahasa Dayak Ngaju atau Jawa  (Ras 1968:12).    Dalam hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju, Ras berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena pada satu ketika di masa lampau  telah terjadi hampir seluruh komunitas Dayak  membuang atau meninggalkan bahasa aslinya dan beralih ke bahasa para atasan atau para tetangganya yang adalah orang Melayu, dengan demikian  mereka melebur kedalam  komunitas yang berbahasa Melayu Banjar (Ras 1968:8).   Hal ini memang terjadi yaitu ketika Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402), sepakat dengan Patih Masih untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka.
Menarik untuk disimak bahwa Hikajat Bandjar   juga tidak berbicara sedikitpun mengenai etnis Dayak atau nama Dayak.  Ia banyak berbicara mengenai Biadju (Ras 1968:536).  Ketika menjelang pengangkatan Pangeran Samudera sebaga Raja Bandjar, memang muncul kesan adanya konfederasi Melayu dan Biadju.  Hal itu terjadi karena  langkah politik Patih Masih untuk  membangun aliansi dengan para patih Biadju yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402).  Pada saat itu,  kesan Banjar sebagai satu kelompok sosial sama sekali tidak muncul.
            Sekalipun dikelompokkan sebagai “mitos” ternyata Hikajat Bandjar    memberi sumbangan informasi penting kepada kita pada masa kini, yaitu bahwa sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak  sama sekali tidak disebut.  Hal itu berarti, Banjar, pada waktu itu,  belum menjadi identitas suku atau agama, dan hanya sebagai identitas diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.  Tampaknya data-data ini sangat mempengaruhi Idwar Saleh  (1986: 12)  sehingga ia menyimpulkan:
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti.  Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan.  Dalam amalgamasi [campuran] baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton.  ....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok  Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.  Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura.  Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua.  Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari.   Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit.  Ketiga ini adalah intinya.  Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya. 



URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 4)



Kontrak Politik Pangeran Samudera

Dari paparan di atas tampak bahwa Islamisasi yang dilakukan oleh Demak merupakan titik awal pada pembentukan identitas baru.  Tentu saja  proses itu dilatarbelakangi oleh motif-motif tertentu.  Penelusuran motif-motif itu  akan membawa kita pada kepentingan-kepentingan yang ada di balik kenapa  Banjar dan Islam harus menjadi identitas suku dan agama.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, berdirinya Kesultanan Islam Banjar   bermula dari  konflik perebutan kekuasaan antara paman (Pangeran Tumenggung) dan keponakan (Pangeran Samudera) di Kerajaan Negara Daha (cikal-bakal Kesultanan Banjar) pada abad 16.  Sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumenggung (Ras 1968: 21-53, Usman,  Gazali 1998:22). Di sisi lain, Demak-Islam memang sangat berambisi menghabisi sisa-sisa Majapahit-Hindu, sehingga bersedia menolong Pangeran Samudera.  Kontrak politik  itu  mempunyai nilai yang sangat strategis tidak hanya bagi Pangeran Samudera yang pada waktu secara militer lemah, tetapi juga bagi  Kesultanan Demak yang pada waktu  itu sedang terlibat persaingan seru dengan para pedagang Portugis. Untuk menghempang pedagang Portugis, Demak harus meng-Islam-kan  wilayah Kesultanan Banjar  yang pada waktu itu  merupakan salah satu pelabuhan penting di jalur perdagangan  para pedagang Portugis ketika menuju Maluku (Schrieke 1957:233-236, bandingkan  Idwar Saleh 1975:31).  Kontrak politik yang dilakukan oleh Pangeran Samudera  merupakan tonggak awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar yang dalam bahasa politik moderen dapat  dikatakan merupakan sebuah negara agama.  Hal ini dikatakan demikian karena sejak itu Islam telah menjadi agama negara. Islam tidak hanya menjadi agama pribadi Sang Sultan Banjar  tetapi juga menjadi  agama resmi kerajaan  (Daud, Alfani 1997: 48)). 
Dalam bingkai tradisi perpolitikan Jawa yang cenderung mengkombinasikan kekuatan militer yang tangguh dengan upaya legitimasi yang bersumber pada budaya keagamaan,   “modal”  untuk  melakukan kontrak politik dengan Demak bukanlah sekedar  intan 10 biji, pekat 1,000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000 kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul[1]  tetapi  “ketertundukkan” (mangawula),  relasi  “kawula-gusti”  dimana Banjarmasin bersedia menjadi pusat pengembangan Islam dan menjadi mata rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis, sesuai politik Demak (Idwar Saleh 1975:31, 33).   Banjarmasin menjadi basis untuk dakwah ke pedalaman.  Dalam perkembangan selanjutnya, selain Banjarmasin, Marabahan, Martapura dan Amuntai juga menjadi pusat penyebaran Islam.   Kemudian, secara politis, Banjarmasin yang baru muncul ini menjadi salah satu rantai  perlawanan Islam di nusantara dalam rangka pertahanan bersama kerajaan-kerajaan Islam untuk menghadapai Portugis  yang beragama Katolik  Memang Banjarmasin telah selesai berperang dengan “musuh lokal” yaitu Kerajaan Hindu Daha yang berada di pedalaman, namun kini ia terseret ke gelanggang pertarungan internasional dengan  mendapat “musuh”  baru  yaitu  Portugis yang oleh  Idwar Saleh  (1958: 16)  disebut sebagai “armada yang mengimpor ‘penyakit perang salib’ ke Asia,” atau oleh  Th.  van den End (2001: 24) digambarkan sebagai berikut “orang-orang yang mempunyai dendam politik dan religius terhadap Islam”:
Portugis (dan juga Spanyol)  telah dijajah  berabad-abad lamanya oleh orang Islam, dan mereka memperoleh kemerdekaan  setelah perang yang panjang.  Pengalaman sejarah itu membuat mereka yakin bahwa merekalah bangsa yang paling setia kepada agama Kristen Katolik.  Merasa superior, bukan berdasarkan ras melainkan berdasarkan agama mereka.  Dan mereka merasa terpanggil untuk mempertahankan agama Kristen terhadap musuh-musuhnya, dan menyiarkan iman ke mana-mana.  Untuk itu, perang merupakan alat yang wajar.  Menurut pandangan mereka, musuh utama adalah Islam, tetapi orang kafir perlu dihadapi pula.  Dalam pada itu, tidak ada bagi mereka perbedaan azasi antara penyiaran iman dan perluasan wilayah pengaruh Spanyol/Portugis.  Mengkristenkan sama dengan me-spanyol-kan dan me-portugis-kan.

Dalam konteks kepentingan menghadapi invasi Portugis (mungkin juga Inggris dan Belanda) inilah kita melihat pentingnya Islam sebagai ideologi.  Dalam konteks  melawan penindas, Islam memang harus menjalankan fungsi integratifnya yaitu menjadi ideologi pemersatu, seperti yang dikatakan oleh Idwar Saleh bahwa “Ketika tahun 1521, cahaya matahari Wilwatika sudah pudar, tenggelam di kaki langit keruntuhannya, Islam sebagai ideologi telah berkembang di Indonesia, akibat keadaan motif politik yang menguasainya. Ia merupakan alat politik yang tajam bagi raja-raja bandar Nusantara” (1958: 16).   Sebelum tiba pada kesimpulan, mari sejenak kita lihat sisi lain dari kontrak politik yang telah dilakukan oleh Pangeran Samudera dan  pengalaman kesultanan Banjarmasin  dengan para Portugis dalam kancah perdagangan dan penyebaran agama di daerah pedalaman Kalimantan Selatan dan Tengah yang pada waktu itu dikenal dengan istilah Borneo Selatan.



[1] Dalam tradisi diceriterakan bahwa  ketika berperang melawan pamanya Pangeran Tumanggung raja Negara Daha, Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di kalangan pengikutnya.  Atas usul Patih Masih,  Pangeran Samudera meminta bantuan pada kerajaan Islam Demak, dengan mengirim sepucuk surat yang dibawa oleh Patih Balit.  Isi surat itu adalah: “Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin  mencatu nugraha minta tatulung bantu tatayang sampian, karena putera andika barabut karajaan lawan patuha itu namanya Pangeran Tumanggung.  Tiada dua-dua putra andika mencatu nugraha minta tatulung bantu tatayang sampian.  Adapun  lamun manang puntra andika mangawula kepada sampian.  Maka persembahan putra andika: intan sapuluh, pekat saribu gulung, tatudung saribu buah, damar batu saribu kindai, jaranang sapuluh pikul, lilin sapuluh pikul...”  Lihat Ras 1968: 428.

URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 5)



Marhum Panembahan  dan Narasi Kecil  Kaum Katolik di Borneo Selatan Abad XVII

Orang Dayak Ngaju mempunyai  “sejarah sendiri” mengenai  kontrak  politik Pangeran Samudera, yaitu ketika  munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai istri dari Marhum Panembahan[1], yang sesungguhnya adalah orang Dayak Ngaju beragama Kaharingan. Hal itu membangkitkan  kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada meletusnya  peperangan, seperti yang dilaporkan oleh Becker (1849:461) bahwa mulai pada sekitar tahun 1550 telah terjadi  peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar yang berlangsung  kurang lebih 20 tahun lamanya. Hermogenes Ugang ( 1987:202), setelah melakukan studi atas manuskrip-manuskrip yang terdapat di Zurich dan Leiden,  mengatakan bahwa issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu  ternyata tidak benar.  Sebenarnya perang itu terjadi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam pada zaman itu.    Kesalahpahaman itu  terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Nyai Diang Lawai mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.   
            Perang karena kesalahpahaman dan sentimen agama ini  sangat membekas dalam ingatan orang Dayak Ngaju.  Ia menjadi ingatan kolektif yang diabadikan dalam bahasa (idiomatic expresion)  dan mitos asal-usul (Panaturan).   Pada masa kini, orang-orang Ngaju di pedesaan menyebut  zaman lampau  atau masa lalu  dengan istilah Zaman Raja Maruhum Usang.  Bahkan dalam sastra suci orang Dayak  Ngaju yang dikenal dengan istilah Panaturan[2]  disebutkan bahwa  Raja Marhum, dengan sebutan Raja Helu Maruhum Usang, dan Nyai Siti Diang Lawai, merupakan bagian dari  leluhur atau nenek moyang orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi Sangiang  (manusia ilahi) dan berdiam di salah satu bagian dari Lewu Sangiang  (perkampungan para dewa)  yang bernama Lewu Tambak Raja.  Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di “sorga” atau perkampungan para dewa itu disebutkan ada mesjid (lih. Panaturan,  Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya  1992: 229, bdk.  Nila Riwut 2003: 530, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia 1972:33-42). 
            Berdasarkan data-data di atas muncul satu pertanyaan “Siapa Pangeran Marhum ini?”
            Dalam Hikajat Bandjar dituturkan bahwa Marhum Panambahan  adalah pengganti Hidayatu’llah.  Itu berarti ia  adalah raja Islam Banjar ke-4 setelah Pangeran Samudera (lihat Ras 1968: 448).  Namun apa hubungannya dengan orang-orang Ngaju sehingga ketika wafat ia dilihat sebagai salah satu Sangiang dari orang-orang Ngaju?.  Dalam sistem kepercayaan orang Ngaju sangatlah tidak mungkin “orang asing” yang bukan “utus,” atau  punya hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang)  untuk  menjadi  salah satu Pantheon mereka.  Cense (1928: 110-11), berdasarkan berita Tionghoa[3] tahun 1618 yang dikutip dari  tulisan Groeneveld (1880: 105),  menerangkan bahwa Marhum Panembahan adalah anak Sultan  Hidayatu’llah yang diperolehnya dari  anak perempuan Chatib Banun, yang kemungkinan adalah seorang Ngaju yang beragama Islam.   Berita Tionghoa ini tampak memperkuat apa dipaparkan oleh Hikajat Bandjar  bahwa Sultan  Hidayatu’llah memang ada mengambil anak Chatib Banun sebagai istri (Ras 1968: 444).  Idwar Saleh dengan mengikuti alur pemikiran Cense menyimpulkan bahwa Marhum Panembahan adalah raja Banjarmasin dari golongan Biaju (atau Ngaju) (1958: 45), karena itu  dengan mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang Biaju untuk menghabisi para lawan politiknya yaitu para bangsawan istana.  Dan atas permintaannya pula salah seorang panglima perang Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan  tinggal menetap  di kalangan warga kesultanan.  Menurut Hikajat Bandjar, Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara tiri Marhum Panembahan (Ras 1968: 448).  Menurut Idwar Saleh penerimaan atas Sorang yang adalah orang Ngaju untuk masuk ke lingkungan istana adalah dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju:
Penerimaan seorang Biadju Islam (Malayu Hanjar) kedalam keluarga radja sebagai iparnja, tak berapa mudah, bila radja sendiri tak berasal dari suku itu pula.  Perkawinan seorang dari sukunja dengan adik tirinja (djadi tak seibu dengan dia) menjatakan usaha pengokohan kedudukanja dan golongannja atas suatu hak jang mungkin diperolehnja dengan djalan usurpasi. (Idwar Saleh 1958: 46)

Tindakan politik Marhum Panembahan  terekam dalam laporan J. Van Kerekhoven ke Batavia  pada tahun 1663:
Pangeran  baru ini keturunan beadio (Biadju), golongan pemakan orang, selain ini ia kaja dan mentjari keuntungan dari masjarakat umumnja.  Karena itu  golongan Biadju mengangkatnja mendjadi radja.  Akan tetapi ia mulai (memerintah) tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat jang berpengelaman (dalam Idwar Saleh 1958:46, 128))

Namun apa yang terjadi pada komunitas Ngaju pedalaman pasca Marhum Panembahan   yang menurut Idwar Saleh (1958: 102-3) berkuasa antara tahun 1642-1650 atau 1559-1620 ?
Dapat diduga bahwa komunitas Dayak di pedalaman sebagai satu  komunitas etno-religi yang berdasarkan agama suku itu posisinya sangat lemah sekali, baik secara politik dan ekonomi bila dibandingan dengan Banjar yang adalah komunitas etno-religi yang berdasarkan agama Islam.  Karena itu  tidaklah heran, pada  pertengahan abad XVII, tepatnya pada tanggal 25 Juni 1689, ketika  kapal Portugis yang dipimpin oleh Kapten Cotingo masuk ke Pulau Petak, wilayah orang Ngaju (atau Biaju) yang masih Kaharingan, mereka disambut dengan ramah dan meriah. Menurut catatan  Gemmelli Careri (1728: 215-236, dalam Baier 2002: 75)  orang-orang Ngaju pada waktu itu ada mengajukan usulan untuk beraliansi dengan Portugis bahkan mereka meminta agar di wilayah mereka didirikan  kubu pertahanan untuk melawan Banjarmasin[4].  Antara Portugis dan kepala-kepala suku Dayak lalu diadakan perjanjian persekutuan.  Kepala-kepala suku bersumpah tunduk kepada raja Portugis (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339-40)
  Patut dicatat bahwa sebelum kedatangan Portugis itu, orang-orang  Ngaju bukanlah penduduk pedalaman.  Mereka adalah penduduk pantai  yang biasa menggunakan  kapal besar untuk merampok maupun berdagang.  Namun kemudian karena kedatangan Islam mereka mundur ke pedalaman.  Hans Knapen (2001),  yang telah melakukan penelitian atas arsip-arsip Borneo Selatan  pada sekitar tahun 1860-1880, mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Before the coming of Islam the Ngaju Dayak were a coastal people, occupying the entire coastal area of Southeast Kalimantan, the Terusan area being their heartland.   They controlled much of the Southeast Borneo trade that went on during the Southeast Asian ‘age of commerce’, which was probably the reason why they came down after all.  After the rise of Islam and the development of Banjarmasin during the sixteenth century the Ngaju have gradually been moving inland towards the north and west after some serious clashes with the new Banjarese ruler, leaving few of them living east Kapuas  (2001:90)

Hipotesis Knapen itu sejajar dengan data yang terdapat dalam  Hikayat Bandjar  yang mengatakan bahwa  pada zaman Nagara Dipa (sekitar abad ke-14)  orang-orang Ngaju  diklasifikasikan sebagai  pedagang sama seperti pedagang asing lainnya yaitu orang India dan  (Ras 1968: 40-71), dan pada waktu itu mereka tinggal di muara sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan (Ras 1968: 22,41-2, 195).  Data ini sangat masuk akal bila kita bandingkan dengan data lain yang  melaporkan bahwa  orang-orang Ngaju  mendiami sebagian besar wilayah Barat Banjarmasin dan berprofesi sebagai bajak laut.  Mereka juga telah melakukan perdagangan secara langsung dengan Singapura yang mereka sebut sebagai “Salat” (Hardeland 1859:152, Perealaer 1870: 182, 183).  Atau seperti yang dicatat oleh menurut Pijnappel)  bahwa orang-orang Ngaju adalah para pelaut ulung yang telah melakukan perdagangan dengan Singapura hingga pertengahan abad ke-19 (Pijnappel 1860; 287, 305, 312.   Hal  ini menurut Idwar Saleh, seorang sejarahwan Banjar yang telah melakukan riset mengenai nama-nama sungai di Kalimantan Selatan,  yang mengakibatkan ada banyak nama sungai-sungai kecil di muara Barito dan Martapura berasal dari bahasa Ngaju (Idwar Saleh 1984:6).  Menurut Alfani Daud (1997: 34)  sepanjang sungai Martapura yaitu mulai ibukota kesultanan sampai dekat kota Banjarmasin adalah daerah pemukiman orang Ngaju.  Karena itu, hingga sekarang, daerah berpaya-paya di tepi sungai Martapura, yaitu di sebelah hilir kota Martapura adalah kediaman orang-orang gaib, yang rupanya asal Biaju atau Ngaju.
            Tentu saja kelancangan orang Portugis  yang melakukan hubungan perdagangan langsung dengan orang-orang Ngaju itu membuat marah pihak Banjarmasin, karena:
Para Sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup bagi suku-suku Daya di pedalaman.  Mereka tidak diperbolehkan menjual hasil-hasil hutan dan lain-lain langsung kepada pedagang-pedagang asing.  Hasil-hasil dari daerah pedalaman itu hanya boleh dijual dan dibeli di batas-batas kesultanan dengan harga sangat murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual kepada pedagang-pedagang luar negeri dengan harga sangat mahal (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 337)
           
Kemarahan itu berubah menjadi murka ketika mereka  tahu orang Portugis tidak hanya sekedar berdagang dengan orang-orang Ngaju tetapi juga meng-Katolik-an orang Ngaju. Hal itu terjadi karena  bersama para pedagang Portugis itu terdapat seorang missionaris yang bernama pater Antonius Ventimiglia.  Dilaporkan bahwa Pater itu  telah meninggalkan kapal, menyewa sebuah perahu dan mudik ke daerah pedalaman.  Di atas perahu dia mendirikan sebuah altar. Ia mengunjungi beberapa kepala suku terkemuka seperti Tomungun, Daman dan Sindum.  Dilaporkan bahwa pada tahun 1691 ada “lima belas suku” yang memeluk agama Katolik, dan pada tahun 1690 saja sudah ada 1,800 orang yang sudah dibaptis  (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339).  Tiga tahun kemudian dilaporkan  ada 3,000 sampai 4,000  orang yang telah menjadi Katolik (Gemelli Careri 1728: 216; Valentijn III: 252, dalam Baier 2002: 75).
            Kegiatan Pater Ventimiglia itu dinilai negatif oleh Banjarmasin yang sangat khawatir kalau pengaruhnya di kalangan suku Dayak berkurang. Karena itu, barang-barang milik Pater Ventimiglia, termasuk benda-benda untuk mempersembahkan korban misa, semuanya diambil oleh orang-orang suruhan Sultan, dan   ia dipanggil ke Banjarmasin untuk kemudian dideportasi ke luar Kalimantan (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 340).  Tetapi Pater Ventimiglia membangkang, ia masuk ke pedalaman dan tinggal bersama orang-orang Dayak di daerah Mantangai[5].   Pada tahun 1694, ketika Jacob Janz de Roy  (1706) melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Kalimantan, ia melaporkan bahwa orang-orang Dayak di pedalaman telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.  Hal itu dikarenakan adanya seorang missionaris Katolik yang mahir berbahasa daerah dan telah membaptis sekitar 3.000 orang.  Tetapi antara penduduk pedalaman dan Sultan Banjarmasin ada perselisihan.  Oleh sebab itu, setelah bertahun-tahun di tengah orang Ngaju, Pater Ventimiglia  dibunuh atas perintah Sultan.  Akibatnya adalah beribu-ribu orang Katolik Ngaju  yang telah dibaptiskan itu  kembali ke agama mereka semula.  Yang masing tinggal bersama mereka adalah tanda-tanda salib saja, itupun telah kehilangan arti yang sebenarnya dan berubah menjadi benda fetis yang berkhasiat magis untuk penolak bala (Ugang 1983: 20; bdk Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 342).   Menurut Perelear (1870:13)  sisa atau peninggalan lain dari Katolikisme yang disebarkan oleh Pater Ventimiglia adalah konsep kiham apui (riam api) dalam sistem teologi orang Dayak Ngaju. Konsep kiham apui  ini  memang mirip dengan konsep api penyucian (purgatory) dalam Katolikisme. Di mana sebelum masuk ke sorga semua arwah harus melalui kiham apui untuk mendapat semacam penyucian. 



[1] Detail ceritera ini dapat dilihat dalam Disertasi Hermogenes Ugang (1987: 201-5), atau dalam  Tjilik Riwut (1958: 57-8).  Namun  Riwut mengatakan bahwa  suami Diang Lawai atau Biang Lawai itu Pangeran Samudera, Raja Islam Banjar pertama dan bukan Pangeran Marhum, Raja Islam Banjar yang ke-4.
[2] Panaturan kini menjadi nama Kitab Suci pemeluk Agama  Kaharingan.
[3] Berita Tionghoa itu berbunyi: The last king of Banjarmasin was a good man, who treated the merchants very favourabky; he had thirty-one sons and fearing that they might molest the merchant-vessels, he did not allow them to go out.  His wife was the daughter of a Beadjoe chieftain and a son of her succeeded his father; this man listened to the words of his mother’s relatives, began to oppres the the trade and owed much money to the trader, which he did never pay. After this the number of those who visited the country gradually diminished. (Cense 1928: 110).
[4] Tampaknya usulan orang Ngaju itu tidak ditanggapi, namu mereka diberi beberapa pucuk meriam kecil.  Oleh orang-orang Dayak  rupanya meriam itu dijadikan sebgai barang keramat, salah satunya dapat ditemukan di Sungai Kanamit di seberang Kampung Sungai Kayu di Kuala Kapus. Kini meriam itu terdapat di depan Kantor Depdikbud  Kecamatan Kapuas Barat di Mandomai
[5] Sampai sekarang di Mantangai, Kalimantan Tengah, ada satu sungai yang diberi nama oleh penduduk setempat sebagai Handel Portugis.  Diperkirakan di daerah itu dahulu Pater Ventimiglia menetap bersama orang Dayak.

URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 6)



Penutup: Kenapa Asep Menjadi Banjar?

Tulisan ini telah mengajak kita mengembara ke masa awal berdirinya kerajaan Banjar yang oleh para ahli diperkirakan pada dekade kedua abad-16, kemudian ke sepotong peristiwa pada zaman Pangeran Marhum, dan  melihat sejenak pada perjumpaan Banjar-Islam dan Dayak-Katolik  pada akhir abad 17.  Tak dapat disanggah tulisan ini belum lengkap, dan hanyalah tulisan awal atau pembuka,  karena ada banyak bagian-bagian penting yang masih belum dibahas sehubungan dengan munculnya kelompok etnik Banjar sebagai satu kekuatan sosial, politik dan agama di Kalimantan Selatan, misalnya  peranan pemerintah kolonial Belanda  dalam menciptakan kelompok suku Dayak Kristen sebagai kelompok antagonis  untuk menggembosi kekuatan Banjar Islam (Idwar Saleh 1986: 11), peranan kelompok etnis Bakumpai yang menurut Helius Sjamsuddin (1988)   adalah Dayak Islam yang gencar melawan Belanda dan menurut Schawaner (1853)  telah menjadi Islam sebelum ada Kesultanan Islam Banjar.  Begitu juga dengan peranan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, ulama besar Banjar. Walaupun demikian ada beberapa hal yang dapat dikatakan  melalui tulisan ini:
Pertama, bahwa sebelum terbentuk Kesultanan Islam Banjar, menurut Hikajat Bandjar  belum ada etnis atau kelompok etnis Bandjar.  Menurut  Hikajat Bandjar   yang ada pada waktu adalah orang-orang Jawa, Melayu dan Biaju, serta suku-suku lain.   Pengamatan jeli terhadap proses awal  berdirinya kesultanan Islam Banjar, bila dikaitkan dengan kelompok etnis yang terlibat pada waktu itu,  akan menghasilkan kesimpulan bahwa empat orang Patih Biaju (bukan Islam) dan satu orang patih Melayu (Islam)  mengangkat satu orang Jawa-Kaling (bukan Islam) untuk menjadi raja. Di sini kelompok Melayu adalah kelompok minoritas, karena itu sangatlah tidak mungkin dapat dikatakan sebagai inti nenek moyang suku Banjar.   Idward Saleh (1991: 2) menolak pendapat ini, dengan tegas dinyatakan:

Ketika Pangeran Samudera mendirikan kerajaan Banjar ia dibantu oleh orang Ngaju, dibantu patih-patihnya seperti patih Belandian, Patih Belitung, Patih Kuwin dan sebagainya serta orang Bakumpai yang dikalahkan.  Demikian pula penduduk Daha yang dikalahkan sebagian besar orang Bukit dan Manyan.  Kelompok ini diberi agama baru yaitu Agama Islam, kemudian mengangkat sumpah setia kepada raja, dan sebagai tanda setia memakai bahasa ibu baru dan meninggalkan bahasa ibu lama.  Jadi orang Banjar itu bukan kesatuan etnis tetapi kesatuan Politik, seperti bangsa Indonesia.

Ataukah telah terjadi kesalahan membaca Hikajat Bandjar yang ditulis oleh J.J. Ras, yaitu pada kalimat  Tanjung Pura as a name for the oldest Bandjarese kraton  ? (Ras 1968: 191), sehingga muncul kesimpulan “masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan Tanjungpura”.  Di sinilah imajinasi kolonial kaum indologist   terbentang  bagaikan jaring laba-laba  halus yang menjerat  dengan tanpa disadari.  Johannes Jacobus Ras, orang Belanda kelahiran Rotterdam tahun 1926, tentunya menulis Disertasi doktoralnya di Leiden University ini pertama-tama adalah untuk para pembacanya yang adalah orang-orang Belanda, minimal untuk sang promotor Prof. Dr. A. Teeuw.    Karena itu,  ia mesti memakai bahasa, istilah atau idiom-idiom atau imaji-imaji yang dimengerti oleh orang Belanda. Salah satu imajinasi populer kolonial terhadap penduduk pulau Kalimantan adalah seperti yang dikatakan oleh Niewenhuis seorang guru besar di Universitas Leiden Belanda (orang Belanda lagi) bahwa: “Orang Dayak adalah penduduk asli pulau Borneo yang bukan orang Melayu.  Orang Melayu ialah penduduk asli pulau Borneo yang  beragama Islam dan bukan orang Dayak” (Niewenhuis 1894: 16).  Atau seperti yang dipaparkan oleh Mallinckrodt (lagi-lagi orang Belanda dan tamatan Leiden)  bahwa “Suku Banjar adalah suatu nama yang diberikan untuk menyebut suku-suku Melayu” (Mallinckrodt 1928: 48).   Jadi dalam imaji orang-orang Belanda, Banjar adalah salah satu dari suku Melayu.  Karena itu orang Melayu diaspora dari Sriwijaya pun digeneralisasi sebagai Banjar  atau sebagai the oldest Bandjarese.  
Pendapat bahwa Banjar adalah salah satu suku Melayu juga didasarkan pada bahasa yang dipergunakan yang menurut Prof. J.J. Ras, ahli sastra Melayu Fakultas Sastra Universitas Leiden, sebagai  the Bandjarese colloquial is a dialect of Malay rather than a separate language (Ras 1968: 8).  Namun pendapat ini disanggah oleh para ahli Melayu moderen, misalnya  James T. Collins, Profesor Alam dan Tamadun Melayu di Universiti Kebangsaan Melayu, karena kenyataannya bahasa Melayu tidak harus  dituturkan  oleh orang Melayu tetapi juga oleh orang-orang di kampung Kristen di Pulau Ambon (Collins 2003: v).   Jerat halus “Leiden Gang” ini juga menggiring ke pemikiran bahwa penutur bahasa Melayu atau orang Melayu haruslah beragama Islam. Dalam tulisan-tulisan mengenai Banjar,  kesimpulan yang sempit dan sederhana ini diderivasi dengan  mengatakan “Banjar bukan hanya konsep untuk menunjukkan perbedaan suku, tapi juga agama” atau “Banjar menjadi identitas agama sekaligus suku”(contohnya lih. Salim 1996:227).  Sehingga muncul kesan yang kuat bahwa  “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar”.  Namun adalah bijak untuk mendengar apa dikatakan oleh Collins:
Konsep Alam Melayu adalah konsep kultural yang berasaskan peranan bahasa Melayu dalam batas geografi Asia Tenggara.  Alam Melayu tidak identik dengan dunia Islam-Melayu, karena banyak penutur bahasa Melayu tidak beragama Islam.  Alam Melayu bukan konsep etnis karena banyak pengguna bahasa Melayu bukan orang Melayu.  Sesungguhnya Alam Melayu lebih luas daripada wilayah masyarakat Melayu yang hanya sebagian dari Alam Melayu.  Alam Melayu yang yang sangat kompleks itu memperlihatkan kadar diversitas yang sangat tinggi dalam hubungan bahasa dan masyarakat.  Sayangnya, banyak ahli “Dunia Melayu” dan pakar “Nusantara” seakan-akan tidak menyadari diversitas itu.  Biasanya mereka hanya mengungkapkan observasi dan mengulangi kesimpulan yang sempit dan sederhana.  Pernah saya mendengar seorang “ahli” sedemikian berhujah bahwa ciri-ciri asas budaya Melayu adalah sarung dan keris!  Rupanya “ahli” itu belum pernah ke Pulau Bali. (Collins 2003: vii-viii).

Di sini tampak bahwa ada kesenjangan yang mencolok antara dunia wacana dan fakta empirik di lapangan.  Seperti yang terjadi di Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, ada banyak  keluarga Dayak Kristen memakai bahasa Banjar sebagai bahasa sehari-hari mereka di dalam rumah, tetapi mereka tetap Dayak dan beragama     Kristen.  Sebaliknya ada banyak keluarga Dayak Islam yang memakai bahasa Ngaju sebagai bahasa sehari-sehari mereka, tetapi mereka tetap Dayak dan tetap Islam.  Contoh lain juga terdapat di Kalimatan Barat di mana ada kelompok-kelompok non-muslim yang  berbicara menggunakan bahasa Melayu yang berasal dari  Sumatera Selatan asalnya bahasa Melayu (Sandin 1956: 54-81). Atau seperti contoh lain yang dipaparkan Collins (2003: xv) bahwa orang Bosnia yang memeluk agama Islam 500 tahun yang lalu tetap berbahasa Bosnia dan beretnis Bosnia.  Masyarakat Kurd di Asia Barat menganut agama Islam tetapi tidak pernah meninggalkan bahasa Kurdi mereka. 
Kajian mengenai Banjar  telah mencapai puncak status quo ketika adigium “Banjar adalah Islam dan Islam adalah Banjar” dikerek tinggi kepuncak hingga menjadi tirai suci yang memberi rasa aman.  Ketika berbicara mengenai  studi Islam Banjar, Hairus Salim mengindikasikan status quo  itu sebagai kemandekan serius yang muncul karena Islam Banjar hidup sendiri tanpa dialog dengan pemikiran-pemikiran Islam di luarnya (Salim 1996:242-43).
Menurut saya untuk  mengkaji Banjar  pertama-tama kita harus menetralkan karakter status quo itu, yaitu dengan meneliti teks-teks yang dibuat oleh orang Banjar sendiri, sebelum  mereka bertemu dengan teks-teks Barat yang sarat dengan ide-ide kolonial dari para indolog dan orientalist.   Hal ini tentu saja sejalan dengan pikiran postkolonial Edward  W. Said dalam bukunya  Orientalisme yang memaparkan bagaimana Barat  mendominasi, mendaur-ulang  Timur untuk kemudian menguasainya.  Barat, tidak hanya menulis mengenai Timur, tetapi  juga mencipta Timur.  Dalam kalimat Edward Said “bahwa budaya Barat mampu mengatur – bahkan menciptakan dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik, dan imajinatif” (Said 2001: 4).   Dengan kata lain, harus ada kesadaran bahwa teks-teks Barat yang selama ini sering dipakai menjadi rujukan untuk mengatakan inilah Urang Banjar  sesungguhnya  kental dengan nuansa kolonial, produk para peneliti Barat yang telah membicarakan, meneliti, merepresentasikan Urang Banjar  secara sewenang-sewenang. 
Jadi memang harus ada keberanian untuk menelusuri kembali asal-pangkal dari imaji-imaji yang sudah terlanjur tercipta mengenai siapa Urang Banjar  itu.   Memang  harus ada kesungguhan untuk mempertanyakan, bahkan mencurigai teks-teks Barat itu sebab seperti yang dikatakan oleh Benedict Anderson “bahwa pertindihan kapitalisme dan teknologi cetak-mencetak dengan keragaman fatal bahasa manusia telah menciptakan kemungkinan lahirnya bentuk baru komunitas imajiner” (Anderson 1999: 84). Karena itulah maka  “komunitas imajiner” yang bernama Urang Banjar , minimal dalam kasus Asep di atas,   memanglah berlawanan, paling sedikit beda, dengan dunia empirik.
            Kedua, tulisan ini hendak memperlihatkan bagaimana sejarah memang selalu tampil berwajah ganda, positif sekaligus negatif.  Demikian juga dengan sejarah Banjar ketika terjadi kontrak politik atau tunduk dengan Demak.  Selain menganut Islam dan menang perang, ternyata ada sisi lain yang juga terjadi, yaitu  hancur, lenyap dan runtuhnya  satu fase berkebudayaan di Kalimantan Selatan.   Tim editor Sejarah Banjar memaparkan  sisi lain  dari    “ketertundukkan” itu  dengan kalimat “Agama Hindu runtuh dan agama Islam menggantikannya.  Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan itu di Kalimantan Selatan sebelumnya”.(2003: 68, bandingkan Usman  1994: 33).  Hal yang senada juga diungkapkan oleh  Idward Saleh dengan mengatakan “bahwa pada saat Islam masuk telah terjadi penghancuran  dan perusakan atas benda-benda keagamaan (iconclasm) umat Hindu sehingga rakyat tidak memiliki sedikit pun pengertian tentang apa  sebenarnya bentuk candi dan fungsinya” (1983/1984: 24). Di sini sejarah  memang selalu memperlihatkan jejak-jejak penaklukan atau penghancuran tatanan lama oleh tatanan baru yang datang dari luar. 
Sisi lain lagi dari kontrak politik Pangeran Samudera adalah   Banjarmasin dilibatkan untuk melawan musuh Demak yaitu Portugis.  Karena itu Banjarmasin dituntut untuk membangun  komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam sebagai oposisi dari Portugis yang Katolik.  Di sini borok Perang Salib dipentaskan dengan membangun tapal batas agama yang dilumeri  wacana kafir dan tidak kafir, insider dan outsider, in group dan outgroup.  Namun sangat tidak disadari bahwa ketika kesultanan Banjar mencoba membangun  komunitas etno-religi yang berdasarkan Islam maka pada  saat yang sama, secara tidak langsung, ia juga sedang  membangun etno-religi yang lain, yaitu Katolik Dayak di daerah pedalaman. Di sini bisa dikatakan bahwa pergulatan antara Muslim Banjar dan Portugis Katolik mepertegas pola yang sudah ada sebelumnya pada kerajaan-kerajaan Melayu yaitu Islam tidak lebih daripada sekadar simbol persekutuan politik yang berhadapan dengan simbol persekutuan politik yang lain yaitu Katolik.   Dalam pertarungan dua kekuatan besar inilah muncul Banjar dan non-Banjar serta Dayak dan non-Dayak Maka tampaklah motif betapa pentingnya konsep bahwa Banjar itu Islam dan Islam itu Banjar.    Dengan demikian, kelompok etnis Banjar muncul bukanlah sebagai hasil  jalan-jalan para Melayu diaspora yang konon datang dari Sriwijaya, tetapi lebih  merupakan produk dari sebuah proses sosial-politis beberapa kelompok  masyarakat,  yang kehidupan ekonominya didasarkan pada eksploitasi daerah pedalaman dan perdagangan internasional, dan kemudian menjadikan  Islam sebagai “spirit” pemersatu sekaligus pembeda dengan orang Portugis atau  orang-orang Ngaju  yang seagama dengan orang Portugis.  Namun kesimpulan ini bukan barang baru.  Secara sayup-sayup kurang lebih 20 tahun yang telah liwat,  Idwar Saleh  menulis:
Untuk proses perkembangan selanjutnya agama Islam berfungsi mempersatukan kelompok atau memisahkan dan menjadi kriteria antara beradab dan belum beradab, antara orang Banjar dan bukan BanjarJadi waktu masih belum ada agama Islam dan Kristen masuk, belum ada yang memisahkan suku-suku ini.  Waktu agama Islam masuk mulailah pemisahan itu.  (bold dari penulis—MM) (1983/1984: 11) 

Dengan demikian, maka bisa dikatakan bahwa Urang Banjar bukanlah sebuah komunitas kultural tetapi lebih kepada  komunitas politik, di mana di dalamnya bisa ada banyak kultur dan etnis.
Ketiga, bahwa diteropong dari kekayaan spiritual suku Dayak Ngaju yang menempatkan Marhum Panembahan,  Sultan Islam Banjar ke-4,  sebagai salah satu pantheon di Alam Atas, ternyata istilah Islam Banjar  bukanlah satu istilah yang  monokultur. Di dalamnya  ada Islam Ngaju (dan juga Islam Bakumpai), karena memang ada banyak orang Ngaju memeluk agama Islam.  Kembali diperlihatkan satu kenyataan lain, ternyata baik Islam maupun Banjar  tidak  menjadi melting pot  atau kuali padodolan  yang bertujuan meyeragamkan semua pengalaman agama dan budaya seseorang tetapi lebih tepat menjadi salad bowl atau piring gado-gado.  Karena sesungguhnya orang tidak betul-betul melebur menjadi satu meninggalkan identitas asalnya untuk  kemudian luluh dalam Melayu yang katanya adalah kultur dominan pada masyarakat Banjar.  Minimal pada periode Marhum Panembahan kita bisa melihat  ada wajah Ngaju atau Biaju mendominasi istana kesultanan Banjar.  Hal ini memang menjadi fakta yang  mendekonstruksi ide oposisi biner warisan kolonial  yang mengatakan bahwa Dayak itu non-Muslim dan Banjar itu Muslim.  Ternyata bahwa, sejak abad ke-17  di “ring satu”  istana Kesultananan Banjar,  Dayak tidak hanya non Muslim tetapi juga Muslim (dan Banjar). 
Sehubungan dengan adanya oposisi binner warisan kolonial itu, sebagai orang yang hidup pada era post kolonial, rasanya sulit untuk menerima adigium atau jargon "Banjar itu Islam, Islam itu Banjar" yang bukan hanya sulit dimengerti secara historis, melainkan juga sukar dipahami secara sosiologis. Sebab, dari berbagai catatan sejarah diperlihatkan bahwa jauh-jauh hari sebelum para tentara Demak  datang ke Banjarmasin dan memperkaribkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat dan raja-raja di Banjar, sudah melembaga rupa-rupa keyakinan dan bermacam-macam ritus yang bukan Islam. Demikian pula secara sosiologis kita dapat merasakan bahwa jargon tersebut seperti memendam kecenderungan untuk tidak toleran terhadap keberagaman Banjar. Kita tahu, bagaimanapun, hingga kini Banjar itu tidak satu warna, melainkan serupa bianglala. Dan tiap-tiap warna ke-Banjaran tentu memiliki hak hidupnya sendiri.

           Pada sisi lain, fakta ini juga  memperlihatkan bahwa di antara oposisi binner  yang bertentangan itu terdapat ambiguitas atau  ruang celah yang menjadi wilayah terlarang sehingga tabu diperbincangkan. Di celah yang sempit itu, yang adalah penjara kenangan masa lalu, terdapat saudaraku Asep  yang harus menjadi Banjar.   Akhirnya dapat dimengerti kenapa Asep bingung ketika ditanya “Kenapa menjadi Banjar?”.  




Banjarmasin 10 Oktober 2004