URANG BANJAR
IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian
2)
Penelusuran
Awal: Putra Mahkota Yang Terbuang dan Kegelisahan Politik Patih Masih
Sejarah
terbentuknya kerajaan Islam Banjar
berawal dari sengketa perebutan
tahta yang terjadi di kalangan internal
elite kerajaan Hindu Jawa yang bernama Negara Daha yang dipimpin oleh Maharaja
Sukarama. Menurut Hikayat Bandjar (Ras 1968: 376-80), bibit konflik
itu bermula dari “Keputusan Hari Sabtu” Maharaja Sukarama yang menyatakan bahwa tahta kerajaan diwariskan bukan ke salah satu dari ketiga anaknya:
Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bagalung, dan Pangeran Tumanggung, tetapi ke
cucunya Pangeran Samudera. Adapun
Pangeran Samudera pada waktu itu masih berumur tiga tahun dan berstatus
yatim-piatu karena ibunya Putri Galuh, putri bungsu dari Maharaja Sukarama, meninggal dunia ketika ia baru pisah susu dan
ayahnya Raden Mantri Alu
menyusul tidak lama kemudian. Tentu saja keputusan kontroversial itu mendapat sanggahan, menimbulkan
kecemburuan bahkan kemarahan dari ketiga
pamannya, terutama Pangeran
Tumanggung. Bagi Pangeran Tumanggung keputusan
sang ayah itu menyalahi tradisi kerajaan dimana mahkota kerajaan haruslah
diwariskan ke anak tertua dan bukan kepada cucu, apalagi cucu dari anak bungsu
perempuan. Namun semua keberatan itu tak bermakna
bagi sang ayah yang berkata “Maski
bagaimana kata angkau, karana sudah ia si Samudra itu ringan bibirku”. Sejak saat itu maka terancamlah nyawa
Pangeran Samudera.
Ketika Pangeran Samudera berumur
tujuh tahun, Maharaja Sukarama meninggal dunia. Pada saat orang sibuk mempersiapkan upacara
pemakaman, Mangkubumi Aria
Taranggana; orang kepercayaan Maharaja
Sukamara yang tahu persis akan adanya
persaingan perebutan mahkota kerajaan, secara diam-diam menyuruh Pangeran
Samudera melarikan diri agar tidak
dibunuh oleh sang paman; Pangeran Tumanggung.
Dengan berbekal djala katjil satu, baras sagantang, kuantan sabuah, dapur sabuah, parang sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting,
bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar,
salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar
salambar, Pangeran Samudera:
Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha, seiring deras arus sungai Barito
pergi sebagai seorang pelarian
politik. Peristiwa pilu yang dialami
oleh Pangeran Samudera, dalam Hikayat Banjar (Ras 1968: 382) dituturkan dengan nada yang melankolis:
Maka ditjarinja Raden Samudra itu. Dapatnja, maka dilumpatkannja arah parahu
talangkasan. Maka dibarinja djala katjil
satu, baras sagantang, kuantan sabuah,
dapur sabuah, parang sabuting,
pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan
sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar,
kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar. Kata Aria Taranggana: “Raden Samudera, tuan
hamba larikan dari sini karana tuan handak dibunuh hua tuan Pangeran
Tumanggung. Tahu-tahu manjanjamarkan
diri. Lamun tuan pagi baroleh mandjala,
mana orang kaja-kaja itu tuan bari,
supaja itu kasih. Djangan tuan mangaku
priaji, kalau tuan dibunuh orang, katahuan oleh
kaum Pangeran Tumanggung. Djaka
datang kabandar Muara Bahan djangan tuan diam disitu, balalu hilir, diam pada
orang manjungaian itu: atawa pada orang Sarapat, atawa pada orang Balandean,
atawa pada orang Bandjarmasih, atawa pada orang Kuwin. Karana itu hampir laut maka tiada pati saba
kasana kaum Pangeran Tumanggung dan Pangeran Mangkubumi, kaum Pangeran
Bagalung. Djaka ada tuan dangar ia itu
kasana tuan barsambunji, kalau tuan katahuannja. Dipadahkannja itu arah Pangeran Tumanggung lamun orang jang hampir-hampir itu
malihat tuan itu, karana sagala orang jang hampir itu tahu akan tuan
itu. Tuan hamba suruh lari djauh-djauh
itu.” Maka kata Raden Samudera:
“Baiklah, aku manarimakasih sida itu.
Kalau aku panjang hajat kubalas djua kasih sida itu.” Maka Raden Samudera itu dihanjutkannja di
parahu katjil oleh Aria Taranggana itu, sarta air waktu itu baharu bunga
baah. Maka Raden Samudera itu bakajuh
tartjaluk-tjaluk. Bahalang-halang
barbudjur parahu itu, karana balum tahu bakajuh
Di atas sebuah biduk kecil, dengan
menyamar sebagai paiwakan (nelayan), Pangeran
Samudera berpetualang di perairan muara sungai Barito. Ia mengembara dari kampung ke kampung yang
ada di sepanjang sungai yaitu:
Sarapat, Balandean, Bandjarmasih, Kuwin, Sungai Muhur, Tamban, dan Sungai
Balitung (Ras 1968: 398, Saleh 1975: 24).
Hidup sebagai “Putera Mahkota
Yang Terbuang” itu dijalaninya
bertahun-tahun yaitu selama zamannya
Maharaja Mangkubumi menjadi raja di kerajaan Negara Daha sampai kepada zaman Pangeran Tumanggung. Menurut Syarif Bistimy (2004: 5) selama masa itu Pangeran Samudera memakai
nama samaran Samidri. Kehidupan
yang serba prihatin itu dilakoninya dengan mantap hingga dewasa, seperti yang tercantum dalam Hikajat
Bandjar (Ras 1968: 398). :
Maka Raden Samudra itu tahu ia
manjamarkan dirinja, tahu ia marandahkan dirinja. Djaka baroleh malunta, mana jang tuha-tuha kampung itu dibarinja. Maka itu jang mambari baras; tapih, ada jang
mambari kain, ada jang mambari buntil.
Sagala jang malihat itu kasih dan sajang. Maka Raden Samudra itu sudah taruna ada jang
handak maambil minantu tapi Raden Samudera itu tiada mau baristri.
Penyamaran
dan kisah hidup Pangeran Samudera sebagai pelarian politik memang tidak abadi. Setelah melalui riwayat
persembunyian yang panjang, di muara
sungai Kuwin, di sebuah kampung yang
bernama Bandjar, ia bertemu dengan seorang Patih Melayu yang sarat
dengan visi politik. Kampung Bandjar
atau Bandjarmasih pada waktu itu (abad 16)
merupakan satu-satunya kampung orang Melayu yang terletak di
tengah-tengah kampung Oloh Ngaju/Dayak Ngaju
yang menggunakan bahasa Brangas (Saleh 1975: 24, 1983/84: 10, 1984:
6, Tim Editor Sejarah Banjar 2003: 65). Kampung ini dipimpin oleh Patih Masih (Ras
1968: 398). Karena itu orang-orang Ngaju
yang berdiam di sekitar kampung itu menyebut
orang Melayu yang berdiam di
kampung itu dengan “Oloh Masi” (bdk. Hardeland
1859: 342, 638). Pada abad ke-16 dan 17
kampung Bandjarmasih terletak di antara sungai Pandai, Sigaling, Karamat, Jagabaya, dan Pangeran yang kesemuanya anak sungai
Kuwin. Hulu-hulu sungai itu bertemu di
darat membentuk danau kecil bersimpang lima (Leirissa dkk. 1984: 58).
Karena
letaknya yang strategis, yaitu tempat
bertemunya pelayaran laut dengan pelayaran sungai, maka kampung Bandjar atau Bandjarmasih mempunyai potensi ekonomi dan politik yang tinggi (Saleh 1958: 26). Apalagi pada waktu itu pelayaran dan
perdagangan antar pulau sangat ramai. Di mana sejak pertengahan abad ke-16
perdagangan ke Maluku, dengan terlebih dahulu melalui Makasar, sangat
ramai. Pelayaran ini juga melewati
Bandjarmasih yang menyebabkan banyak disinggahi pedagang. Namun sayangnya potensi itu seolah mati atau terhambat karena bandar yang merupakan pusat niaga berada di
daerah pedalaman bagian hulu, yaitu di Muara Bahan, dan ibu kota kerajaan yang menjadi pusat kebijakan-kebijakan berada di Kahuripan, di
daerah Danau Panggang. Ditambah lagi
pada waktu itu, secara politis kampung Banjar atau Bandjarmasih merupakan
kawasan pinggir karena merupakan taklukan dari Negara Daha yang dibebani dengan
berbagai upeti dan pajak. Sehubungan
dengan posisi politis
yang tidak menguntungkan itu , menurut Idwar Saleh memang “Bagi kampung-kampung yang terletak di
sekitar kota Banjarmasin sekarang – yang mana dikuasai oleh patih Masih,
Balitung, Balit, Muhur, yang lebih banyak merasakan laba perdagangan – hubungan
pengakuan kuasa pada pedalaman dirasakan sebagai kerugian belaka” (1958: 34).
Sebagai seorang pimpinan wilayah
Bandjar, Patih Masih tampaknya sangat memahami situasi politik Negara
Daha. Ia tahu betul bahwa seorang
yang mamakai tapih buruk, badju buruk, dan kupiah buruk (Ras
1968:400) yang bersembunyi di sekitar
wilayahnya adalah cucu Maharaja Sukarama, pelarian politik pewaris sah tahta
kerajaan Negara Daha. Langkah politik
pertama ia ambil adalah membangun aliansi dengan para patih Dayak yang ada di
sekitar kampung Bandjar yaitu Patih
Balit pemimpin kampung Balandean, Patih
Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan
Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402). Dalam sebuah pesta perjamuan yang dihadiri kira-kira 500 orang, Pangeran
Samudera yang kini sudah memakai kain jang baik-baik, kupiah jang baik serta
duduk diatas katil tiada mau (Ras
1968:400-1) diminta untuk menjadi raja dengan alasan:
Daripada kita masih mendjadi desa,
santiasa kana sarah dangan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita barbuat radja,
kalau ia ini jang saparti chabar orang itu tjutju Maharadja Sukarama jang
diwasiatkannja mandjadi radja
Alasan
untuk lepas dari kewajiban pajak dan menyerahkan upeti, serta keinginan untuk “tidak
lagi berstatus desa,” itu
diterima oleh Pangeran Samudera yang ditindaklanjuti dengan merebut Bandar Muara Bahan dan memindahkan
Bandar itu dengan segala penduduknya ke
Bandjarmasih. Hal itu rupanya disambut
baik oleh para pedagang yang ada di Muara Bahan, karena memang posisi Bandjarmasih yang dekat muara
sungai sangatlah strategis dan menguntungkan (Ras 1968: 406).
Tentu saja hal ini membuat murka Pangeran
Tumenggung yang berujung pada perang terbuka antara paman dan
keponakan. Untuk meraih kemenangan,
Pangeran Samudera meminta bantuan ke
Kintap, Satui, Sawarangan, Hasam-hasam, Laut Pulau, Pamukan, Pasir, Kutai,
Barau, Karasikan, Biaju, Sabangau, Mandawai, Sampit, Pambuang, Kota Waringin,
Sukadana, Lawai dan Sambas (Ras 1968: 408).
Bantuan yang signifikan datang dari kerajaan Demak, kerajaan Islam di
pantai utara Jawa. Dengan adanya bantuan
itu maka sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki
tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia
bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk
menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumanggung (Ras 1968: 21-53, Usman
1998:22). Masih menurut Hikajat
Bandjar (Ras 1968: 438) setelah
berhasil menjadi raja di Bandjarmasih, oleh
orang nagri Arab, ia diberi gelar Sultan Surjanu’llah.