Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 3)


Awal Kesultanan:  Mari Mendiskusikan Hikajat Bandjar

Patut diakui, seperti yang dikatakan oleh Lambut (1992: 25), bahwa pengetahuan dan penghayatan kita tentang masyarakat Kalimantan, bumi tua yang selalu terpecah belah, masih sangat sedikit dan masih sangat kaku.  Begitu juga mengenai pengetahuan kita mengenai Urang Banjar  hanyalah berkisar pada spekulasi-spekulasi para penulis Barat yang menyatakan bahwa masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya sempalan Melayu  yang menurut pelbagai sumber  berasal dari salah satu tempat di semenanjung Malaka (Hudson 1956, Oppenheimer 1999, Potter 1999, dalam Lambut 2003).  Memang ada juga spekulasi yang non-Barat yang menyatakan bahwa suku Banjar adalah “Melayu yang Jawa” atau “Jawa yang Melayu”  (lihat Salim1996: 223). 
Sumber atau data sejarah untuk melacak  lahirnya etnis Banjar sangatlah terbatas sekali.  Satu-satunya buku yang terus menerus menjadi rujukan adalah Hikajat Bandjar.  Walaupun Hikajat Bandjar , oleh J.J. Ras, diklasifikasikan sebagai  “a Malay myth of origin” (Ras 1968: 93), yang artinya realiabilitas data sejarahnya diragukan,   tetapi sebagai teks sastra yang diproduk  ketika masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah sumber  valid dan patut diperhitungkan. 
Ras dengan nada hormat, karena berisi ceritera asal-asul,  menyebut Hikajat Bandjar  sebagai  teks yang semi sakral (semi-sacred text).  Ia mengatakan “...also cleary indicates that this text was originally a piece of semi-sacred, functional literature”  (Ras 1968: 93).  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk awal dari  Hikajat Bandjar   adalah sastra atau tradisi lisan yang dikenal sebagai mitos asal-usul.    Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan  bahwa Hikajat Bandjar   sebagai  tradisi lisan tidak diragukan lagi sebagai sumber pengetahuan tentang masa lalu (Vansina, 1965 : X).   Memang tak dapat disanggah ada pendapat yang mengatakan bahwa Hikajat Bandjar   adalah  mitos: sekedar cerita belaka, dan tidak masul akal. Akan tetapi anggapan semacam ini dapat ditepis dengan pendapat Van Peursen (1978:37-41) bahwa “mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu  pada kelompok orang (pemiliknya), memberikan “pengetahuan tentang dunia”.  Dengan demikian Hikajat Bandjar   dapat  menjadi sumber pengetahuan tentang masa lalu  atau menjadi sumber pengetahuan tentang “pengetahuan tentang dunia” orang Kalimantan pada masa lalu.
            Hal pertama yang dapat kita katakan  mengenai  Hikajat Bandjar  adalah teks ini ditulis pada masa kesultanan Islam Banjar.  Sebagaimana tradisi Islam, ia dibuka dengan satu doxology “Bism Allâh al-rahmân al-râhim wa bihi nasta‘ în bi Allâh ‘aliy” (Ras 1968: 228).  Ini dapat diasumsikan bahwa Hikajat Bandjar   membawa satu tujuan khusus yaitu untuk menyebarkan berita-berita mengenai kesultanan Banjar Islam.  Karena itu kemenangan Pangeran Samudera , yang didukung oleh kekuatan Islam Demak, dalam perang saudara melawan Pangeran Tumenggung secara implisit adalah untuk mendemontrasikan kebesaran kesultanan Banjar Islam ketika berhadapan dengan kekuatan lain.
            Di sisi lain Hikajat Bandjar    juga dapat dilihat sebagai  upaya untuk mencari legitimasi politik dari Jawa  seperti  yang sebelumnya sudah dibuat oleh orang Kalimantan pada masa pra-Islam.  Karena itu dalam Hikajat Bandjar   dituturkan bahwa asal-asul  dan silsilah sultan Banjar pertama adalah dari Negara Dipa yang diclaim berasal dari Majapahit.  Menurut Russel Jones (1979: 153) ,  penyusunan silsilah yang mengkaitkan diri dengan raja atau tokoh-tokoh masa lampau yang pernah berkuasa  adalah hal yang biasa dilakukan oleh para raja yang baru bertahta dalam rangka mendapat pengakuan dari rakyatnya.  Menurut Sartono Kartodirjo (1992: 47) kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja  berfungsi sebagai  dasar legitimasi otoritasnya.  Karena itu, tidaklah heran kalau di dalam Hikajat Bandjar    dituturkan betapa unggulnya para leluhur yang menurunkan para elite istana, dimana dalam jajaran nenek moyang terdapat nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain (Ras 1968: 21), para saudagar kaya serta gagah berani dan para elite lokal (Ras 1968: 27).  Bahkan Putri Junjung Buih,  nenek moyang perempuan orang Dayak Ngaju  juga didaftarkan sebagai salah satu nenek moyang  raja Banjar (Ras 1968: 308-12).
            Dalam tradisi sastra kerajaan Jawa,  Hikajat Bandjar   dapat digolongkan sebagai babad yang bertujuan untuk memuliakan raja atau seseorang yang dirajakan dan menceriterakan asal usul  satu kerajaan.  Anthony Reid, yang menyebutkan bahwa Hikajat Bandjar     sebagai turunan dari tradisi Islam Jawa, mengatakan bahwa sebagai kronik Hikajat Bandjar    “tidak ragu menggambarkan kekuasaan para penguasa dan asal usul negara dengan menggunakan kekuasaan magis (kesaktian) yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi  proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di dalam batas-batas yang  dapat diterima oleh kalangan Muslim di sebagian besar dunia” (2004: 20-22).  Dalam genre babad,  Hikajat Bandjar  memang alat legitimator para raja.  Hal ini sangat diperlukan bila mengingat betapa tindakan seorang raja penggeser (usurpator)    dalam satu suksesi kerajaan akan dapat mendatangkan perasaan tidak adil dalam masyarakat.  Rasa tidak adil dalam masyarakat demikian itu harus dihindarkan jangan sampai tumbuh.  Untuk itu raja penggeser harus mengusahakan legitimasi.  Salah satu caranya adalah melalui penulisan babad atau hikayat, yang tujuannya untuk menyatakan bahwa raja penggeser itu layak dan berhak sebagai raja.  Dengan demikian  kedudukan para usurpator akan semakin kokoh, karena perasaan ketidakadilan dalam masyarakat dapat dinetralkan bahkan tindakan penggeseran itu dapat diterima (G. Moedjanto 1987: 34-6).  Kalau  kita mencermati “daftar orang hebat”  yang terdapat silsilah seperti  dipaparkan oleh Hikajat Bandjar, maka  akan tampak bahwa siapa saja yang  mau “dirangkul” atau “dijinakkan” oleh para usurpator ini (lih. Ras 168: 123).
            Dalam fungsinya sebagai legitimator dan pengaman kedudukan Raja, sangat dapat dimengerti kalau ada beberapa bagian dari Hikajat Bandjar, misalnya perkelahian antara Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, sengaja dibuat “tampil agung dan cantik”.    Sebab sangat ironis  kalau Sultan Islam Banjarmasin yang pertama digambarkan sebagai orang sadis yang tega membunuh paman kandungnya sendiri.   Dalam semangat anti hegemoni Jawa, terkadang  bagian ini  dapat dikatakan sebagai bagian yang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bagaimana pusat kerajaan Jawa di Nagara Daha  ditaklukkan  tanpa melalui peperangan.
            Sebagai produk pujangga istana, menarik untuk dicermati bahwa Hikajat Bandjar    memang berbicara tentang sejarah awal  pengislaman kaum istana tetapi  sama sekali tidak ada bertutur  mengenai sejarah urang Banjar.  Memang ada banyak kata Bandjar, basa Bandjar, kota Bandjar, nagri Bandjar, atau  radja Bandjar  (Ras 1968: 533) disebutkan, namun sama sekali tidak untuk menunjuk pada etnik Banjar tetapi untuk menunjukkan sekelompok orang yang tinggal di satu wilayah kampung yang dikenal sebagai  Bandjarmasih, di muara sungai Kuwin.  Scott (1913:313-44 dalam Azra 2004: 315) menggambarkan bahwa meskipun Islam tampaknya telah dianggap secara resmi sebagai agama negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan kelompok minoritas di kalangan penduduk.  Para pemeluk Islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; Islam hanya  mampu masuk secara perlahan ke kalangan suku Dayak.  Karena itu tidaklah heran kalau dalam Hikajat Bandjar    orang-orang yang tinggal di Pamukan, Hasam-hasam, Kintap, Takisung dan Tabuniau tidaklah disebut  sebagai orang Banjar.  (Ras 1968: 430).  Bahkan orang-orang yang berdiam di Sarapat, Balandean, dan Kuwin juga tidak disebutkan atau dibedakan dari orang Banjar atau orang  Bandjarmasih (Ras 1968:382). 
Mengenai  basa Bandjar pun  dinyatakan beda dengan bahasa Melayu, yaitu ketika Patih Masih akan berkata kepada Raden Samudera yang sedang menyamar dikatakan  “Adapun kata kamudian dikatakan kata basa Bandjar, tiada itu basa Malaju”. (Ras 1968:400).  Ras menyebut bahasa yang dipergunakan dalam Hikajat Bandjar   dengan istilah the Bandjarese colloquial,  dimana di dalamnya terdapat banyak kata yang bukan bahasa Melayu maupun bahasa Banjar yang dipergunakan pada waktu itu, tetapi bahasa Dayak Ngaju atau Jawa  (Ras 1968:12).    Dalam hubungannya dengan bahasa Dayak Ngaju, Ras berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena pada satu ketika di masa lampau  telah terjadi hampir seluruh komunitas Dayak  membuang atau meninggalkan bahasa aslinya dan beralih ke bahasa para atasan atau para tetangganya yang adalah orang Melayu, dengan demikian  mereka melebur kedalam  komunitas yang berbahasa Melayu Banjar (Ras 1968:8).   Hal ini memang terjadi yaitu ketika Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402), sepakat dengan Patih Masih untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka.
Menarik untuk disimak bahwa Hikajat Bandjar   juga tidak berbicara sedikitpun mengenai etnis Dayak atau nama Dayak.  Ia banyak berbicara mengenai Biadju (Ras 1968:536).  Ketika menjelang pengangkatan Pangeran Samudera sebaga Raja Bandjar, memang muncul kesan adanya konfederasi Melayu dan Biadju.  Hal itu terjadi karena  langkah politik Patih Masih untuk  membangun aliansi dengan para patih Biadju yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402).  Pada saat itu,  kesan Banjar sebagai satu kelompok sosial sama sekali tidak muncul.
            Sekalipun dikelompokkan sebagai “mitos” ternyata Hikajat Bandjar    memberi sumbangan informasi penting kepada kita pada masa kini, yaitu bahwa sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak  sama sekali tidak disebut.  Hal itu berarti, Banjar, pada waktu itu,  belum menjadi identitas suku atau agama, dan hanya sebagai identitas diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang menjadi tempat tinggal.  Tampaknya data-data ini sangat mempengaruhi Idwar Saleh  (1986: 12)  sehingga ia menyimpulkan:
Demikian kita dapatkan keraton keempat adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti.  Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun 1526 didirikan.  Dalam amalgamasi [campuran] baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton.  ....Di sini kita dapatkan bukan suku Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau kelompok besar yaitu kelompok  Banjar Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan.  Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan daerah Martapura.  Yang kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito sampai dengan Kelua.  Yang ketiga tinggal di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari.   Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit.  Ketiga ini adalah intinya.  Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya. 


No comments:

Post a Comment