URANG
BANJAR
IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian
3)
Awal
Kesultanan: Mari Mendiskusikan Hikajat
Bandjar
Patut
diakui, seperti yang dikatakan oleh Lambut (1992: 25), bahwa pengetahuan dan
penghayatan kita tentang masyarakat Kalimantan, bumi tua yang selalu terpecah
belah, masih sangat sedikit dan masih sangat kaku. Begitu juga mengenai pengetahuan kita
mengenai Urang Banjar hanyalah
berkisar pada spekulasi-spekulasi para penulis Barat yang menyatakan bahwa
masyarakat inti asli orang Banjar adalah Melayu atau sekurang-kurangnya
sempalan Melayu yang menurut pelbagai
sumber berasal dari salah satu tempat di
semenanjung Malaka (Hudson 1956, Oppenheimer 1999, Potter 1999, dalam Lambut
2003). Memang ada juga spekulasi yang
non-Barat yang menyatakan bahwa suku Banjar adalah “Melayu yang Jawa” atau
“Jawa yang Melayu” (lihat Salim1996:
223).
Sumber
atau data sejarah untuk melacak lahirnya
etnis Banjar sangatlah terbatas sekali.
Satu-satunya buku yang terus menerus menjadi rujukan adalah Hikajat
Bandjar. Walaupun Hikajat Bandjar
, oleh J.J. Ras, diklasifikasikan sebagai
“a Malay myth of origin” (Ras 1968: 93), yang artinya realiabilitas
data sejarahnya diragukan, tetapi
sebagai teks sastra yang diproduk ketika
masalah etnisitas belum menjadi issue hangat seperti sekarang ini, ia adalah
sumber valid dan patut
diperhitungkan.
Ras
dengan nada hormat, karena berisi ceritera asal-asul, menyebut Hikajat Bandjar sebagai
teks yang semi sakral (semi-sacred text). Ia mengatakan “...also cleary indicates
that this text was originally a piece of semi-sacred, functional literature” (Ras 1968: 93). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk
awal dari Hikajat Bandjar adalah sastra atau tradisi lisan yang dikenal
sebagai mitos asal-usul. Karena itu, tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa Hikajat Bandjar sebagai
tradisi lisan tidak diragukan lagi sebagai
sumber pengetahuan tentang masa lalu (Vansina, 1965 : X). Memang tak dapat disanggah ada pendapat yang
mengatakan bahwa Hikajat
Bandjar adalah mitos: sekedar cerita belaka, dan tidak masul
akal. Akan tetapi anggapan semacam ini dapat ditepis dengan pendapat Van
Peursen (1978:37-41) bahwa “mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman
dan arah tertentu pada kelompok orang
(pemiliknya), memberikan “pengetahuan tentang dunia”. Dengan demikian Hikajat Bandjar dapat menjadi sumber pengetahuan tentang masa
lalu atau menjadi sumber pengetahuan
tentang “pengetahuan tentang dunia” orang Kalimantan pada masa lalu.
Hal pertama yang dapat kita
katakan mengenai Hikajat Bandjar adalah teks ini ditulis pada masa kesultanan
Islam Banjar. Sebagaimana tradisi Islam,
ia dibuka dengan satu doxology “Bism Allâh al-rahmân al-râhim wa bihi nasta‘
în bi Allâh ‘aliy” (Ras 1968: 228).
Ini dapat diasumsikan bahwa Hikajat Bandjar membawa satu tujuan khusus yaitu untuk
menyebarkan berita-berita mengenai kesultanan Banjar Islam. Karena itu kemenangan Pangeran Samudera ,
yang didukung oleh kekuatan Islam Demak, dalam perang saudara melawan Pangeran
Tumenggung secara implisit adalah untuk mendemontrasikan kebesaran kesultanan
Banjar Islam ketika berhadapan dengan kekuatan lain.
Di sisi lain Hikajat Bandjar juga dapat dilihat sebagai upaya untuk mencari legitimasi politik dari
Jawa seperti yang sebelumnya sudah dibuat oleh orang
Kalimantan pada masa pra-Islam. Karena
itu dalam Hikajat Bandjar dituturkan bahwa asal-asul dan silsilah sultan Banjar pertama adalah
dari Negara Dipa yang diclaim berasal dari Majapahit. Menurut Russel Jones (1979: 153) , penyusunan silsilah yang mengkaitkan diri
dengan raja atau tokoh-tokoh masa lampau yang pernah berkuasa adalah hal yang biasa dilakukan oleh para
raja yang baru bertahta dalam rangka mendapat pengakuan dari rakyatnya. Menurut Sartono Kartodirjo (1992: 47)
kekuasaan raja sering bersumber pada soal keturunan, maka silsilah raja berfungsi sebagai dasar legitimasi otoritasnya. Karena itu, tidaklah heran kalau di dalam Hikajat Bandjar dituturkan betapa unggulnya para leluhur
yang menurunkan para elite istana, dimana dalam jajaran nenek moyang terdapat
nabi Khaidir dan Iskandar Zulkarnain (Ras 1968: 21), para saudagar kaya serta
gagah berani dan para elite lokal (Ras 1968: 27). Bahkan Putri Junjung Buih, nenek moyang perempuan orang Dayak Ngaju juga didaftarkan sebagai salah satu nenek
moyang raja Banjar (Ras 1968: 308-12).
Dalam tradisi
sastra kerajaan Jawa, Hikajat Bandjar
dapat digolongkan sebagai babad
yang bertujuan untuk memuliakan raja atau seseorang yang dirajakan dan
menceriterakan asal usul satu
kerajaan. Anthony Reid, yang menyebutkan
bahwa Hikajat Bandjar sebagai turunan dari tradisi Islam Jawa,
mengatakan bahwa sebagai kronik Hikajat Bandjar “tidak ragu menggambarkan kekuasaan para
penguasa dan asal usul negara dengan menggunakan kekuasaan magis (kesaktian)
yang berasal dari masa pra-Islam, namun tampak jelas deskripsi proses Islamisasi dijaga agar tetap berada di
dalam batas-batas yang dapat diterima
oleh kalangan Muslim di sebagian besar dunia” (2004:
20-22). Dalam genre babad, Hikajat Bandjar memang alat legitimator para raja. Hal ini sangat diperlukan bila mengingat
betapa tindakan seorang raja penggeser (usurpator) dalam satu suksesi kerajaan akan dapat
mendatangkan perasaan tidak adil dalam masyarakat. Rasa tidak adil dalam masyarakat demikian itu
harus dihindarkan jangan sampai tumbuh.
Untuk itu raja penggeser harus mengusahakan legitimasi. Salah satu caranya adalah melalui penulisan
babad atau hikayat, yang tujuannya untuk menyatakan bahwa raja penggeser itu
layak dan berhak sebagai raja. Dengan
demikian kedudukan para usurpator
akan semakin kokoh, karena perasaan ketidakadilan dalam masyarakat dapat
dinetralkan bahkan tindakan penggeseran itu dapat diterima (G. Moedjanto 1987:
34-6). Kalau kita mencermati “daftar orang hebat” yang terdapat silsilah seperti dipaparkan oleh Hikajat Bandjar, maka akan tampak bahwa siapa saja yang mau “dirangkul” atau “dijinakkan” oleh para usurpator
ini (lih. Ras 168: 123).
Dalam fungsinya
sebagai legitimator dan pengaman kedudukan Raja, sangat dapat dimengerti kalau
ada beberapa bagian dari Hikajat Bandjar, misalnya perkelahian antara
Pangeran Samudera dengan pamannya Pangeran Tumenggung, sengaja dibuat “tampil
agung dan cantik”. Sebab sangat
ironis kalau Sultan Islam Banjarmasin
yang pertama digambarkan sebagai orang sadis yang tega membunuh paman
kandungnya sendiri. Dalam semangat anti
hegemoni Jawa, terkadang bagian ini dapat dikatakan sebagai bagian yang sengaja
dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bagaimana pusat kerajaan Jawa di
Nagara Daha ditaklukkan tanpa melalui peperangan.
Sebagai produk pujangga istana,
menarik untuk dicermati bahwa Hikajat Bandjar memang berbicara tentang sejarah awal pengislaman kaum istana tetapi sama sekali tidak ada bertutur mengenai sejarah urang Banjar. Memang ada banyak kata Bandjar, basa
Bandjar, kota Bandjar, nagri Bandjar, atau
radja Bandjar (Ras 1968: 533)
disebutkan, namun sama sekali tidak untuk menunjuk pada etnik Banjar tetapi
untuk menunjukkan sekelompok orang yang tinggal di satu wilayah kampung yang
dikenal sebagai Bandjarmasih, di muara
sungai Kuwin. Scott (1913:313-44 dalam
Azra 2004: 315) menggambarkan bahwa meskipun Islam tampaknya telah dianggap
secara resmi sebagai agama negara, kaum Muslim ternyata hanya merupakan
kelompok minoritas di kalangan penduduk.
Para pemeluk Islam, umumnya, terbatas pada orang-orang Melayu; Islam
hanya mampu masuk secara perlahan ke
kalangan suku Dayak. Karena itu tidaklah
heran kalau dalam Hikajat Bandjar orang-orang yang tinggal di Pamukan,
Hasam-hasam, Kintap, Takisung dan Tabuniau tidaklah disebut sebagai orang Banjar. (Ras 1968: 430). Bahkan orang-orang yang berdiam di Sarapat,
Balandean, dan Kuwin juga tidak disebutkan atau dibedakan dari orang Banjar
atau orang Bandjarmasih (Ras
1968:382).
Mengenai basa Bandjar pun dinyatakan beda dengan bahasa Melayu, yaitu
ketika Patih Masih akan berkata kepada Raden Samudera yang sedang menyamar
dikatakan “Adapun kata kamudian
dikatakan kata basa Bandjar, tiada itu basa Malaju”. (Ras 1968:400). Ras menyebut bahasa yang dipergunakan dalam Hikajat
Bandjar dengan istilah the
Bandjarese colloquial, dimana di
dalamnya terdapat banyak kata yang bukan bahasa Melayu maupun bahasa Banjar
yang dipergunakan pada waktu itu, tetapi bahasa Dayak Ngaju atau Jawa (Ras 1968:12). Dalam hubungannya dengan bahasa Dayak
Ngaju, Ras berpendapat bahwa hal itu disebabkan karena pada satu ketika di masa
lampau telah terjadi hampir seluruh
komunitas Dayak membuang atau
meninggalkan bahasa aslinya dan beralih ke bahasa para atasan atau para tetangganya
yang adalah orang Melayu, dengan demikian
mereka melebur kedalam komunitas
yang berbahasa Melayu Banjar (Ras 1968:8).
Hal ini memang terjadi yaitu ketika Patih Balit pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur
pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih
Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402), sepakat dengan Patih Masih
untuk mengangkat Pangeran Samudera sebagai raja mereka.
Menarik
untuk disimak bahwa Hikajat Bandjar juga tidak berbicara sedikitpun mengenai
etnis Dayak atau nama Dayak. Ia banyak
berbicara mengenai Biadju (Ras 1968:536).
Ketika menjelang pengangkatan Pangeran Samudera sebaga Raja Bandjar,
memang muncul kesan adanya konfederasi Melayu dan Biadju. Hal itu terjadi karena langkah politik Patih Masih untuk membangun aliansi dengan para patih Biadju
yang ada di sekitar kampung Bandjar
yaitu Patih Balit pemimpin
kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin
kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968:
402). Pada saat itu, kesan Banjar sebagai satu kelompok sosial
sama sekali tidak muncul.
Sekalipun dikelompokkan sebagai
“mitos” ternyata Hikajat Bandjar memberi sumbangan informasi penting kepada
kita pada masa kini, yaitu bahwa sebelum dan pada awal berdirinya Kesultanan
Islam Banjar, baik etnik Banjar maupun etnik Dayak sama sekali tidak disebut. Hal itu berarti, Banjar, pada waktu itu, belum menjadi identitas suku atau agama, dan
hanya sebagai identitas diri yang merujuk pada kawasan teritorial tertentu yang
menjadi tempat tinggal. Tampaknya
data-data ini sangat mempengaruhi Idwar Saleh
(1986: 12) sehingga ia
menyimpulkan:
Demikian kita dapatkan keraton keempat
adalah lanjutan dari kerajaan Daha dalam bentuk kerajaan Banjar Islam dan
berpadunya suku Ngaju, Maanyan dan Bukit sebagai inti. Inilah penduduk di Banjarmasih ketika tahun
1526 didirikan. Dalam amalgamasi
[campuran] baru ini telah bercampur unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit
dan suku kecil lainnya diikat oleh agama Islam, berbahasa Banjar dan adat
istiadat Banjar oleh difusi kebudayaan yang ada dalam keraton. ....Di sini kita dapatkan bukan suku
Banjar, karena kesatuan etnik itu tidak ada, yang ada adalah group atau
kelompok besar yaitu kelompok Banjar
Kuala, kelompok Banjar Batang Banyu dan Banjar Pahuluan. Yang pertama tinggal di daerah Banjar Kuala
sampai dengan daerah Martapura. Yang
kedua tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di sungai Barito
sampai dengan Kelua. Yang ketiga tinggal
di kaki pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari
kesatuan-etnik Ngaju, kelompok Banjar Batang Banyu berasal dari kesatuan- etnik
Maanyan, kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan- etnik Bukit. Ketiga ini adalah intinya. Mereka menganggap lebih beradab dan menjadi
kriteria dengan yang bukan Banjar, yaitu golongan Kaharingan, dengan ejekan
orang Dusun, orang Biaju, Bukit dan sebagainya.
No comments:
Post a Comment