Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 2)


Penelusuran Awal: Putra Mahkota Yang Terbuang dan Kegelisahan Politik   Patih Masih
     
Sejarah terbentuknya   kerajaan Islam Banjar berawal dari   sengketa perebutan tahta   yang terjadi di kalangan internal elite kerajaan Hindu Jawa yang bernama Negara Daha yang dipimpin oleh Maharaja Sukarama.  Menurut Hikayat Bandjar  (Ras 1968: 376-80), bibit  konflik   itu bermula dari “Keputusan Hari Sabtu” Maharaja Sukarama  yang menyatakan bahwa   tahta kerajaan diwariskan  bukan ke salah satu dari ketiga anaknya: Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bagalung, dan Pangeran Tumanggung, tetapi ke cucunya Pangeran Samudera.  Adapun Pangeran Samudera pada waktu itu masih berumur tiga tahun dan berstatus yatim-piatu karena ibunya Putri Galuh, putri bungsu dari  Maharaja Sukarama,  meninggal dunia ketika ia baru pisah susu dan ayahnya  Raden  Mantri Alu  menyusul tidak lama kemudian. Tentu saja keputusan kontroversial  itu mendapat sanggahan, menimbulkan kecemburuan bahkan  kemarahan dari ketiga pamannya, terutama  Pangeran Tumanggung.  Bagi Pangeran Tumanggung keputusan sang ayah itu menyalahi tradisi kerajaan dimana mahkota kerajaan haruslah diwariskan ke anak tertua dan bukan kepada cucu, apalagi cucu dari anak bungsu perempuan.  Namun semua keberatan itu  tak bermakna  bagi  sang ayah yang berkata “Maski bagaimana kata angkau, karana sudah ia si Samudra itu ringan bibirku”.  Sejak saat itu maka terancamlah nyawa Pangeran Samudera.
            Ketika Pangeran Samudera berumur tujuh tahun, Maharaja Sukarama meninggal dunia.   Pada saat orang sibuk mempersiapkan upacara pemakaman,  Mangkubumi Aria Taranggana;  orang kepercayaan Maharaja Sukamara  yang tahu persis akan adanya persaingan perebutan mahkota kerajaan, secara diam-diam menyuruh Pangeran Samudera melarikan diri  agar tidak dibunuh oleh sang paman; Pangeran Tumanggung.    Dengan berbekal djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambarPangeran Samudera: Putera Mahkota Kerajaan Negara Daha, seiring deras arus sungai Barito pergi  sebagai seorang pelarian politik.  Peristiwa pilu yang dialami oleh Pangeran Samudera, dalam Hikayat Banjar  (Ras 1968: 382)  dituturkan dengan nada yang melankolis:
 Maka ditjarinja Raden Samudra itu.  Dapatnja, maka dilumpatkannja arah parahu talangkasan.  Maka dibarinja djala katjil satu, baras sagantang,  kuantan sabuah, dapur sabuah, parang  sabuting, pisau sabuting, pangajuh sabuting, bakul sabuah, sanduk sabuting, pinggan sabuah, mangkuk sabuah, badju salambar, salawar salambar, kain salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar.  Kata Aria Taranggana: “Raden Samudera, tuan hamba larikan dari sini karana tuan handak dibunuh hua tuan Pangeran Tumanggung.  Tahu-tahu manjanjamarkan diri.  Lamun tuan pagi baroleh mandjala, mana orang kaja-kaja itu tuan bari, supaja itu kasih.  Djangan tuan mangaku priaji, kalau tuan dibunuh orang, katahuan oleh  kaum Pangeran Tumanggung.  Djaka datang kabandar Muara Bahan djangan tuan diam disitu, balalu hilir, diam pada orang manjungaian itu: atawa pada orang Sarapat, atawa pada orang Balandean, atawa pada orang Bandjarmasih, atawa pada orang Kuwin.  Karana itu hampir laut maka tiada pati saba kasana kaum Pangeran Tumanggung dan Pangeran Mangkubumi, kaum Pangeran Bagalung.  Djaka ada tuan dangar ia itu kasana tuan barsambunji, kalau tuan katahuannja.  Dipadahkannja itu arah Pangeran  Tumanggung lamun orang jang hampir-hampir itu malihat tuan itu, karana sagala orang jang hampir itu tahu akan tuan itu.  Tuan hamba suruh lari djauh-djauh itu.”  Maka kata Raden Samudera: “Baiklah, aku manarimakasih sida itu.  Kalau aku panjang hajat kubalas djua kasih sida itu.”   Maka Raden Samudera itu dihanjutkannja di parahu katjil oleh Aria Taranggana itu, sarta air waktu itu baharu bunga baah.  Maka Raden Samudera itu bakajuh tartjaluk-tjaluk.  Bahalang-halang barbudjur parahu itu, karana balum tahu bakajuh

            Di atas sebuah biduk kecil, dengan menyamar  sebagai  paiwakan (nelayan), Pangeran Samudera berpetualang  di perairan  muara sungai Barito.  Ia mengembara dari kampung ke kampung yang ada di sepanjang sungai yaitu:  Sarapat,  Balandean,  Bandjarmasih, Kuwin,  Sungai Muhur, Tamban, dan Sungai Balitung  (Ras 1968: 398, Saleh  1975: 24).   Hidup  sebagai “Putera Mahkota Yang Terbuang”  itu dijalaninya bertahun-tahun yaitu   selama zamannya Maharaja Mangkubumi menjadi raja di kerajaan Negara Daha  sampai kepada zaman Pangeran Tumanggung.  Menurut Syarif Bistimy (2004: 5)  selama masa itu Pangeran Samudera memakai nama samaran Samidri.  Kehidupan yang serba prihatin itu dilakoninya dengan mantap hingga  dewasa, seperti yang tercantum dalam Hikajat Bandjar  (Ras 1968: 398).  :
Maka Raden Samudra itu tahu ia manjamarkan dirinja, tahu ia marandahkan dirinja.  Djaka baroleh malunta, mana  jang tuha-tuha kampung itu dibarinja.  Maka itu jang mambari baras; tapih, ada jang mambari kain, ada jang mambari buntil.  Sagala jang malihat itu kasih dan sajang.  Maka Raden Samudra itu sudah taruna ada jang handak maambil minantu tapi Raden Samudera itu tiada mau baristri.

Penyamaran dan kisah hidup Pangeran Samudera sebagai pelarian politik  memang tidak abadi. Setelah melalui riwayat persembunyian yang panjang, di  muara sungai Kuwin, di sebuah kampung yang  bernama Bandjar, ia bertemu dengan seorang Patih Melayu yang sarat dengan visi politik. Kampung  Bandjar atau Bandjarmasih pada waktu itu (abad 16)  merupakan satu-satunya kampung orang Melayu yang terletak di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju/Dayak Ngaju  yang menggunakan bahasa Brangas (Saleh 1975: 24, 1983/84: 10, 1984: 6,  Tim Editor Sejarah Banjar 2003: 65).  Kampung ini dipimpin oleh Patih Masih (Ras 1968: 398).  Karena itu orang-orang Ngaju yang berdiam di sekitar kampung itu menyebut  orang Melayu  yang berdiam di kampung itu dengan “Oloh Masi” (bdk. Hardeland  1859: 342, 638).   Pada abad  ke-16 dan 17  kampung Bandjarmasih terletak di antara sungai  Pandai, Sigaling, Karamat,  Jagabaya, dan  Pangeran yang kesemuanya anak sungai Kuwin.  Hulu-hulu sungai itu bertemu di darat membentuk danau kecil bersimpang lima (Leirissa dkk. 1984: 58).
Karena letaknya  yang strategis, yaitu tempat bertemunya pelayaran laut dengan pelayaran sungai, maka kampung  Bandjar atau Bandjarmasih  mempunyai potensi ekonomi dan politik  yang tinggi (Saleh 1958: 26).  Apalagi pada waktu itu pelayaran dan perdagangan antar pulau sangat ramai. Di mana sejak pertengahan abad ke-16 perdagangan ke Maluku, dengan terlebih dahulu melalui Makasar, sangat ramai.  Pelayaran ini juga melewati Bandjarmasih yang menyebabkan banyak disinggahi pedagang.  Namun sayangnya potensi itu  seolah mati atau terhambat karena  bandar yang merupakan pusat niaga berada di daerah pedalaman bagian hulu, yaitu di Muara Bahan, dan  ibu kota kerajaan yang menjadi pusat  kebijakan-kebijakan berada di Kahuripan, di daerah Danau Panggang.    Ditambah lagi pada waktu itu, secara politis kampung Banjar atau Bandjarmasih merupakan kawasan pinggir karena merupakan taklukan dari Negara Daha yang dibebani dengan berbagai upeti dan pajak.   Sehubungan dengan  posisi  politis  yang tidak menguntungkan itu , menurut Idwar Saleh memang   “Bagi kampung-kampung yang terletak di sekitar kota Banjarmasin sekarang – yang mana dikuasai oleh patih Masih, Balitung, Balit, Muhur, yang lebih banyak merasakan laba perdagangan – hubungan pengakuan kuasa pada pedalaman dirasakan sebagai kerugian belaka” (1958: 34).
            Sebagai seorang pimpinan wilayah Bandjar, Patih Masih tampaknya sangat memahami situasi politik Negara Daha.  Ia tahu betul bahwa  seorang  yang mamakai tapih buruk, badju buruk, dan kupiah buruk (Ras 1968:400)  yang bersembunyi di sekitar wilayahnya adalah cucu Maharaja Sukarama, pelarian politik pewaris sah tahta kerajaan Negara Daha.  Langkah politik pertama ia ambil adalah membangun aliansi dengan para patih Dayak yang ada di sekitar kampung Bandjar  yaitu Patih Balit  pemimpin kampung Balandean, Patih Muhur pemimpin kampung Sarapat, Patih Kuwin pemimpin kampung sungai Kuwin, dan Patih Balitung pemimpin kampung Balitung (Ras 1968: 402).  Dalam sebuah pesta perjamuan  yang dihadiri kira-kira 500 orang, Pangeran Samudera yang kini sudah memakai kain jang baik-baik, kupiah jang baik serta duduk diatas katil tiada mau  (Ras 1968:400-1) diminta untuk menjadi raja dengan alasan:
Daripada kita masih mendjadi desa, santiasa kana sarah dangan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita barbuat radja, kalau ia ini jang saparti chabar orang itu tjutju Maharadja Sukarama jang diwasiatkannja mandjadi radja

Alasan untuk lepas dari kewajiban pajak dan menyerahkan upeti,  serta keinginan untuk  “tidak  lagi  berstatus desa,” itu diterima oleh Pangeran Samudera yang ditindaklanjuti dengan  merebut Bandar Muara Bahan dan memindahkan Bandar itu  dengan segala penduduknya ke Bandjarmasih.  Hal itu rupanya disambut baik oleh para pedagang yang ada di Muara Bahan, karena  memang posisi Bandjarmasih yang dekat muara sungai sangatlah  strategis dan  menguntungkan (Ras 1968: 406).
            Tentu saja  hal ini membuat murka Pangeran Tumenggung  yang  berujung pada perang terbuka antara paman dan keponakan.  Untuk meraih kemenangan, Pangeran Samudera  meminta bantuan ke Kintap, Satui, Sawarangan, Hasam-hasam, Laut Pulau, Pamukan, Pasir, Kutai, Barau, Karasikan, Biaju, Sabangau, Mandawai, Sampit, Pambuang, Kota Waringin, Sukadana, Lawai dan Sambas (Ras 1968: 408).  Bantuan yang signifikan datang dari kerajaan Demak, kerajaan Islam di pantai utara Jawa.  Dengan adanya bantuan itu maka sang keponakan berhasil mengalahkan sang paman dan berhasil menduduki tahta, namun setelah melakukan kontrak politik dengan Sultan Demak bahwa ia bersedia masuk Islam jika Sultan Demak mau memberikan bantuan tentara untuk menundukkan pamannya sendiri Pangeran Tumanggung (Ras 1968: 21-53, Usman 1998:22).  Masih menurut Hikajat Bandjar  (Ras 1968: 438) setelah berhasil menjadi raja di Bandjarmasih, oleh  orang nagri Arab, ia diberi gelar Sultan Surjanu’llah.

No comments:

Post a Comment