URANG BANJAR
IDENTITAS DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 5)
Marhum Panembahan dan Narasi Kecil Kaum Katolik di Borneo Selatan Abad XVII
Orang
Dayak Ngaju mempunyai “sejarah sendiri”
mengenai kontrak politik Pangeran Samudera, yaitu ketika munculnya desas-desus dikonversikannya Diang
Lawai istri dari Marhum Panembahan[1],
yang sesungguhnya adalah orang Dayak Ngaju beragama Kaharingan. Hal itu
membangkitkan kemarahan para sanak
saudara Diang Lawai yang berujung pada meletusnya peperangan, seperti yang dilaporkan oleh
Becker (1849:461) bahwa mulai pada sekitar tahun 1550 telah terjadi peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar yang
berlangsung kurang lebih 20 tahun
lamanya. Hermogenes Ugang ( 1987:202), setelah
melakukan studi atas manuskrip-manuskrip yang terdapat di Zurich dan
Leiden, mengatakan bahwa issue
pengislaman Nyai Diang Lawai itu
ternyata tidak benar. Sebenarnya
perang itu terjadi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka
bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang
Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan
di kalangan orang Islam pada zaman itu.
Kesalahpahaman itu terjadi karena
adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja.
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Nyai Diang Lawai mengalami sedikit tidak
enak badan karena mulai hamil muda.
Perang
karena kesalahpahaman dan sentimen agama ini
sangat membekas dalam ingatan orang Dayak Ngaju. Ia menjadi ingatan kolektif yang diabadikan
dalam bahasa (idiomatic expresion)
dan mitos asal-usul (Panaturan).
Pada masa kini, orang-orang Ngaju di pedesaan menyebut zaman lampau
atau masa lalu dengan istilah Zaman
Raja Maruhum Usang. Bahkan dalam
sastra suci orang Dayak Ngaju yang
dikenal dengan istilah Panaturan[2]
disebutkan bahwa Raja Marhum, dengan sebutan Raja Helu
Maruhum Usang, dan Nyai Siti Diang Lawai, merupakan bagian dari leluhur atau nenek moyang orang Dayak Ngaju,
yang setelah mereka meninggal dunia menjadi Sangiang (manusia ilahi) dan berdiam di salah satu
bagian dari Lewu Sangiang (perkampungan
para dewa) yang bernama Lewu Tambak
Raja. Karena Raja Maruhum adalah
seorang Muslim maka di “sorga” atau perkampungan para dewa itu disebutkan ada
mesjid (lih. Panaturan, Majelis
Besar Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya
1992: 229, bdk. Nila Riwut 2003:
530, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia 1972:33-42).
Berdasarkan
data-data di atas muncul satu pertanyaan “Siapa Pangeran Marhum ini?”
Dalam Hikajat
Bandjar dituturkan bahwa Marhum Panambahan
adalah pengganti Hidayatu’llah.
Itu berarti ia adalah raja Islam
Banjar ke-4 setelah Pangeran Samudera (lihat Ras 1968: 448). Namun apa hubungannya dengan orang-orang
Ngaju sehingga ketika wafat ia dilihat sebagai salah satu Sangiang dari
orang-orang Ngaju?. Dalam sistem kepercayaan
orang Ngaju sangatlah tidak mungkin “orang asing” yang bukan “utus,”
atau punya hubungan geneologis dengan
orang Dayak Ngaju, dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia
Sangiang) untuk menjadi
salah satu Pantheon mereka. Cense
(1928: 110-11), berdasarkan berita Tionghoa[3]
tahun 1618 yang dikutip dari tulisan
Groeneveld (1880: 105), menerangkan
bahwa Marhum Panembahan adalah anak Sultan
Hidayatu’llah yang diperolehnya dari
anak perempuan Chatib Banun, yang kemungkinan adalah seorang Ngaju yang
beragama Islam. Berita Tionghoa ini
tampak memperkuat apa dipaparkan oleh Hikajat Bandjar bahwa Sultan
Hidayatu’llah memang ada mengambil anak Chatib Banun sebagai istri (Ras
1968: 444). Idwar Saleh dengan mengikuti
alur pemikiran Cense menyimpulkan bahwa Marhum Panembahan adalah raja
Banjarmasin dari golongan Biaju (atau Ngaju) (1958: 45), karena itu dengan mudah ia bisa meminta bantuan
orang-orang Biaju untuk menghabisi para lawan politiknya yaitu para bangsawan
istana. Dan atas permintaannya pula
salah seorang panglima perang Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh
orang kawannya untuk masuk Islam dan
tinggal menetap di kalangan warga
kesultanan. Menurut Hikajat Bandjar, Sorang
akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan
Gusti Nurasat, saudara tiri Marhum Panembahan (Ras 1968: 448). Menurut Idwar Saleh penerimaan atas Sorang
yang adalah orang Ngaju untuk masuk ke lingkungan istana adalah dikarenakan
Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju:
Penerimaan
seorang Biadju Islam (Malayu Hanjar) kedalam keluarga radja sebagai iparnja,
tak berapa mudah, bila radja sendiri tak berasal dari suku itu pula. Perkawinan seorang dari sukunja dengan adik
tirinja (djadi tak seibu dengan dia) menjatakan usaha pengokohan kedudukanja
dan golongannja atas suatu hak jang mungkin diperolehnja dengan djalan
usurpasi. (Idwar Saleh 1958: 46)
Tindakan politik Marhum Panembahan terekam dalam laporan J. Van Kerekhoven ke
Batavia pada tahun 1663:
Pangeran baru ini keturunan beadio (Biadju), golongan
pemakan orang, selain ini ia kaja dan mentjari keuntungan dari masjarakat
umumnja. Karena itu golongan Biadju mengangkatnja mendjadi
radja. Akan tetapi ia mulai (memerintah)
tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat jang berpengelaman (dalam
Idwar Saleh 1958:46, 128))
Namun apa yang terjadi pada komunitas Ngaju pedalaman pasca
Marhum Panembahan yang menurut Idwar
Saleh (1958: 102-3) berkuasa antara tahun 1642-1650 atau 1559-1620 ?
Dapat diduga bahwa komunitas
Dayak di pedalaman sebagai satu
komunitas etno-religi yang berdasarkan agama suku itu posisinya sangat
lemah sekali, baik secara politik dan ekonomi bila dibandingan dengan Banjar
yang adalah komunitas etno-religi yang berdasarkan agama Islam. Karena itu
tidaklah heran, pada pertengahan
abad XVII, tepatnya pada tanggal 25 Juni 1689, ketika kapal Portugis yang dipimpin oleh Kapten
Cotingo masuk ke Pulau Petak, wilayah orang Ngaju (atau Biaju) yang masih
Kaharingan, mereka disambut dengan ramah dan meriah. Menurut catatan Gemmelli Careri (1728: 215-236, dalam Baier
2002: 75) orang-orang Ngaju pada waktu
itu ada mengajukan usulan untuk beraliansi dengan Portugis bahkan mereka
meminta agar di wilayah mereka didirikan
kubu pertahanan untuk melawan Banjarmasin[4]. Antara Portugis dan kepala-kepala suku Dayak
lalu diadakan perjanjian persekutuan.
Kepala-kepala suku bersumpah tunduk kepada raja Portugis (Bagian
Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339-40)
Patut dicatat bahwa sebelum kedatangan
Portugis itu, orang-orang Ngaju bukanlah
penduduk pedalaman. Mereka adalah
penduduk pantai yang biasa menggunakan kapal besar untuk merampok maupun
berdagang. Namun kemudian karena
kedatangan Islam mereka mundur ke pedalaman.
Hans Knapen (2001), yang telah
melakukan penelitian atas arsip-arsip Borneo Selatan pada sekitar tahun 1860-1880, mengajukan
hipotesis sebagai berikut:
Before
the coming of Islam the Ngaju Dayak were a coastal people, occupying the entire
coastal area of Southeast Kalimantan , the
Terusan area being their heartland.
They controlled much of the Southeast Borneo
trade that went on during the Southeast Asian ‘age of commerce’, which was
probably the reason why they came down after all. After the rise of Islam and the development
of Banjarmasin
during the sixteenth century the Ngaju have gradually been moving inland
towards the north and west after some serious clashes with the new Banjarese
ruler, leaving few of them living east Kapuas (2001:90)
Hipotesis Knapen itu sejajar dengan data yang terdapat
dalam Hikayat Bandjar yang
mengatakan bahwa pada zaman Nagara Dipa
(sekitar abad ke-14) orang-orang
Ngaju diklasifikasikan sebagai pedagang sama seperti pedagang asing lainnya
yaitu orang India dan (Ras 1968: 40-71),
dan pada waktu itu mereka tinggal di muara sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan
(Ras 1968: 22,41-2, 195). Data ini
sangat masuk akal bila kita bandingkan dengan data lain yang melaporkan bahwa orang-orang Ngaju mendiami sebagian besar wilayah Barat
Banjarmasin dan berprofesi sebagai bajak laut.
Mereka juga telah melakukan perdagangan secara langsung dengan Singapura
yang mereka sebut sebagai “Salat” (Hardeland 1859:152, Perealaer 1870: 182,
183). Atau seperti yang dicatat oleh
menurut Pijnappel) bahwa orang-orang
Ngaju adalah para pelaut ulung yang telah melakukan perdagangan dengan
Singapura hingga pertengahan abad ke-19 (Pijnappel 1860; 287, 305, 312. Hal
ini menurut Idwar Saleh, seorang sejarahwan Banjar yang telah melakukan
riset mengenai nama-nama sungai di Kalimantan Selatan, yang mengakibatkan ada banyak nama
sungai-sungai kecil di muara Barito dan Martapura berasal dari bahasa Ngaju
(Idwar Saleh 1984:6). Menurut Alfani
Daud (1997: 34) sepanjang sungai
Martapura yaitu mulai ibukota kesultanan sampai dekat kota Banjarmasin adalah
daerah pemukiman orang Ngaju. Karena
itu, hingga sekarang, daerah berpaya-paya di tepi sungai Martapura, yaitu di
sebelah hilir kota Martapura adalah kediaman orang-orang gaib, yang
rupanya asal Biaju atau Ngaju.
Tentu saja
kelancangan orang Portugis yang
melakukan hubungan perdagangan langsung dengan orang-orang Ngaju itu membuat
marah pihak Banjarmasin, karena:
Para
Sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup bagi
suku-suku Daya di pedalaman. Mereka
tidak diperbolehkan menjual hasil-hasil hutan dan lain-lain langsung kepada
pedagang-pedagang asing. Hasil-hasil
dari daerah pedalaman itu hanya boleh dijual dan dibeli di batas-batas
kesultanan dengan harga sangat murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual
kepada pedagang-pedagang luar negeri dengan harga sangat mahal (Bagian
Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 337)
Kemarahan
itu berubah menjadi murka ketika mereka
tahu orang Portugis tidak hanya sekedar berdagang dengan orang-orang
Ngaju tetapi juga meng-Katolik-an orang Ngaju. Hal itu terjadi karena bersama para pedagang Portugis itu terdapat
seorang missionaris yang bernama pater Antonius Ventimiglia. Dilaporkan bahwa Pater itu telah meninggalkan kapal, menyewa sebuah
perahu dan mudik ke daerah pedalaman. Di
atas perahu dia mendirikan sebuah altar. Ia mengunjungi beberapa kepala suku
terkemuka seperti Tomungun, Daman dan Sindum.
Dilaporkan bahwa pada tahun 1691 ada “lima belas suku” yang memeluk
agama Katolik, dan pada tahun 1690 saja sudah ada 1,800 orang yang sudah
dibaptis (Bagian Dokumentasi-Penerangan
Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339).
Tiga tahun kemudian dilaporkan
ada 3,000 sampai 4,000 orang yang
telah menjadi Katolik (Gemelli Careri 1728: 216; Valentijn III: 252, dalam
Baier 2002: 75).
Kegiatan Pater Ventimiglia itu
dinilai negatif oleh Banjarmasin yang sangat khawatir kalau pengaruhnya di
kalangan suku Dayak berkurang. Karena itu, barang-barang milik Pater
Ventimiglia, termasuk benda-benda untuk mempersembahkan korban misa, semuanya
diambil oleh orang-orang suruhan Sultan, dan
ia dipanggil ke Banjarmasin untuk kemudian dideportasi ke luar
Kalimantan (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974:
340). Tetapi Pater Ventimiglia
membangkang, ia masuk ke pedalaman dan tinggal bersama orang-orang Dayak di
daerah Mantangai[5]. Pada tahun 1694, ketika Jacob Janz de
Roy (1706) melakukan perjalanan ke
daerah pedalaman Kalimantan, ia melaporkan bahwa orang-orang Dayak di pedalaman
telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.
Hal itu dikarenakan adanya seorang missionaris Katolik yang mahir
berbahasa daerah dan telah membaptis sekitar 3.000 orang. Tetapi antara penduduk pedalaman dan Sultan
Banjarmasin ada perselisihan. Oleh sebab
itu, setelah bertahun-tahun di tengah orang Ngaju, Pater Ventimiglia dibunuh atas perintah Sultan. Akibatnya adalah beribu-ribu orang Katolik
Ngaju yang telah dibaptiskan itu kembali ke agama mereka semula. Yang masing tinggal bersama mereka adalah
tanda-tanda salib saja, itupun telah kehilangan arti yang sebenarnya dan
berubah menjadi benda fetis yang berkhasiat magis untuk penolak bala (Ugang
1983: 20; bdk Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974:
342). Menurut Perelear (1870:13) sisa
atau peninggalan lain dari Katolikisme yang disebarkan oleh Pater Ventimiglia
adalah konsep kiham apui (riam api) dalam sistem teologi orang
Dayak Ngaju. Konsep kiham apui ini memang mirip dengan konsep api penyucian (purgatory)
dalam Katolikisme. Di mana sebelum masuk ke sorga semua arwah harus melalui kiham
apui untuk mendapat semacam penyucian.
[1]
Detail ceritera ini dapat dilihat dalam Disertasi Hermogenes Ugang (1987:
201-5), atau dalam Tjilik Riwut (1958:
57-8). Namun Riwut mengatakan bahwa suami Diang Lawai atau Biang Lawai itu
Pangeran Samudera, Raja Islam Banjar pertama dan bukan Pangeran Marhum, Raja Islam
Banjar yang ke-4.
[2] Panaturan kini menjadi
nama Kitab Suci pemeluk Agama
Kaharingan.
[3]
Berita Tionghoa itu berbunyi: The last king of Banjarmasin was a good man,
who treated the merchants very favourabky; he had thirty-one sons and fearing
that they might molest the merchant-vessels, he did not allow them to go
out. His wife was the daughter of a
Beadjoe chieftain and a son of her succeeded his father; this man listened to
the words of his mother’s relatives, began to oppres the the trade and owed much
money to the trader, which he did never pay. After this the number of those who
visited the country gradually diminished. (Cense 1928: 110).
[4]
Tampaknya usulan orang Ngaju itu tidak ditanggapi, namu mereka diberi beberapa
pucuk meriam kecil. Oleh orang-orang
Dayak rupanya meriam itu dijadikan
sebgai barang keramat, salah satunya dapat ditemukan di Sungai Kanamit di
seberang Kampung Sungai Kayu di Kuala Kapus. Kini meriam itu terdapat di depan
Kantor Depdikbud Kecamatan Kapuas Barat
di Mandomai
[5] Sampai sekarang di
Mantangai, Kalimantan Tengah, ada satu sungai yang diberi nama oleh penduduk
setempat sebagai Handel Portugis.
Diperkirakan di daerah itu dahulu Pater Ventimiglia menetap bersama
orang Dayak.
No comments:
Post a Comment