Wednesday, August 15, 2012


URANG BANJAR
IDENTITAS  DAN ETNISITAS DI KALIMANTAN SELATAN
(Bagian 5)



Marhum Panembahan  dan Narasi Kecil  Kaum Katolik di Borneo Selatan Abad XVII

Orang Dayak Ngaju mempunyai  “sejarah sendiri” mengenai  kontrak  politik Pangeran Samudera, yaitu ketika  munculnya desas-desus dikonversikannya Diang Lawai istri dari Marhum Panembahan[1], yang sesungguhnya adalah orang Dayak Ngaju beragama Kaharingan. Hal itu membangkitkan  kemarahan para sanak saudara Diang Lawai yang berujung pada meletusnya  peperangan, seperti yang dilaporkan oleh Becker (1849:461) bahwa mulai pada sekitar tahun 1550 telah terjadi  peperangan antara Dayak Ngaju dan Banjar yang berlangsung  kurang lebih 20 tahun lamanya. Hermogenes Ugang ( 1987:202), setelah melakukan studi atas manuskrip-manuskrip yang terdapat di Zurich dan Leiden,  mengatakan bahwa issue pengislaman Nyai Diang Lawai itu  ternyata tidak benar.  Sebenarnya perang itu terjadi karena salah paham dipihak orang Dayak Ngaju yang menyangka bahwa Raja Maruhum telah melanggar perjanjian pada waktu menikahi Nyai Diang Lawai yaitu Nyai Diang Lawai tidak boleh disunat seperti yang biasa dilakukan di kalangan orang Islam pada zaman itu.    Kesalahpahaman itu  terjadi karena adanya berita bahwa Nyai Diang Lawai menderita sakit akibat disunat oleh raja. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah Nyai Diang Lawai mengalami sedikit tidak enak badan karena mulai hamil muda.   
            Perang karena kesalahpahaman dan sentimen agama ini  sangat membekas dalam ingatan orang Dayak Ngaju.  Ia menjadi ingatan kolektif yang diabadikan dalam bahasa (idiomatic expresion)  dan mitos asal-usul (Panaturan).   Pada masa kini, orang-orang Ngaju di pedesaan menyebut  zaman lampau  atau masa lalu  dengan istilah Zaman Raja Maruhum Usang.  Bahkan dalam sastra suci orang Dayak  Ngaju yang dikenal dengan istilah Panaturan[2]  disebutkan bahwa  Raja Marhum, dengan sebutan Raja Helu Maruhum Usang, dan Nyai Siti Diang Lawai, merupakan bagian dari  leluhur atau nenek moyang orang Dayak Ngaju, yang setelah mereka meninggal dunia menjadi Sangiang  (manusia ilahi) dan berdiam di salah satu bagian dari Lewu Sangiang  (perkampungan para dewa)  yang bernama Lewu Tambak Raja.  Karena Raja Maruhum adalah seorang Muslim maka di “sorga” atau perkampungan para dewa itu disebutkan ada mesjid (lih. Panaturan,  Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, Palangka Raya  1992: 229, bdk.  Nila Riwut 2003: 530, Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia 1972:33-42). 
            Berdasarkan data-data di atas muncul satu pertanyaan “Siapa Pangeran Marhum ini?”
            Dalam Hikajat Bandjar dituturkan bahwa Marhum Panambahan  adalah pengganti Hidayatu’llah.  Itu berarti ia  adalah raja Islam Banjar ke-4 setelah Pangeran Samudera (lihat Ras 1968: 448).  Namun apa hubungannya dengan orang-orang Ngaju sehingga ketika wafat ia dilihat sebagai salah satu Sangiang dari orang-orang Ngaju?.  Dalam sistem kepercayaan orang Ngaju sangatlah tidak mungkin “orang asing” yang bukan “utus,” atau  punya hubungan geneologis dengan orang Dayak Ngaju, dapat diproyeksikan sebegitu rupa ke alam atas (dunia Sangiang)  untuk  menjadi  salah satu Pantheon mereka.  Cense (1928: 110-11), berdasarkan berita Tionghoa[3] tahun 1618 yang dikutip dari  tulisan Groeneveld (1880: 105),  menerangkan bahwa Marhum Panembahan adalah anak Sultan  Hidayatu’llah yang diperolehnya dari  anak perempuan Chatib Banun, yang kemungkinan adalah seorang Ngaju yang beragama Islam.   Berita Tionghoa ini tampak memperkuat apa dipaparkan oleh Hikajat Bandjar  bahwa Sultan  Hidayatu’llah memang ada mengambil anak Chatib Banun sebagai istri (Ras 1968: 444).  Idwar Saleh dengan mengikuti alur pemikiran Cense menyimpulkan bahwa Marhum Panembahan adalah raja Banjarmasin dari golongan Biaju (atau Ngaju) (1958: 45), karena itu  dengan mudah ia bisa meminta bantuan orang-orang Biaju untuk menghabisi para lawan politiknya yaitu para bangsawan istana.  Dan atas permintaannya pula salah seorang panglima perang Ngaju yang bernama Sorang bersama sepuluh orang kawannya untuk masuk Islam dan  tinggal menetap  di kalangan warga kesultanan.  Menurut Hikajat Bandjar, Sorang akhirnya diambil ipar oleh Marhum Panembahan yaitu dengan mengawinkannya dengan Gusti Nurasat, saudara tiri Marhum Panembahan (Ras 1968: 448).  Menurut Idwar Saleh penerimaan atas Sorang yang adalah orang Ngaju untuk masuk ke lingkungan istana adalah dikarenakan Marhum Panembahan sendiri adalah keturunan (utus) orang Ngaju:
Penerimaan seorang Biadju Islam (Malayu Hanjar) kedalam keluarga radja sebagai iparnja, tak berapa mudah, bila radja sendiri tak berasal dari suku itu pula.  Perkawinan seorang dari sukunja dengan adik tirinja (djadi tak seibu dengan dia) menjatakan usaha pengokohan kedudukanja dan golongannja atas suatu hak jang mungkin diperolehnja dengan djalan usurpasi. (Idwar Saleh 1958: 46)

Tindakan politik Marhum Panembahan  terekam dalam laporan J. Van Kerekhoven ke Batavia  pada tahun 1663:
Pangeran  baru ini keturunan beadio (Biadju), golongan pemakan orang, selain ini ia kaja dan mentjari keuntungan dari masjarakat umumnja.  Karena itu  golongan Biadju mengangkatnja mendjadi radja.  Akan tetapi ia mulai (memerintah) tanpa pengikut dari golongan bangsawan dan penasihat jang berpengelaman (dalam Idwar Saleh 1958:46, 128))

Namun apa yang terjadi pada komunitas Ngaju pedalaman pasca Marhum Panembahan   yang menurut Idwar Saleh (1958: 102-3) berkuasa antara tahun 1642-1650 atau 1559-1620 ?
Dapat diduga bahwa komunitas Dayak di pedalaman sebagai satu  komunitas etno-religi yang berdasarkan agama suku itu posisinya sangat lemah sekali, baik secara politik dan ekonomi bila dibandingan dengan Banjar yang adalah komunitas etno-religi yang berdasarkan agama Islam.  Karena itu  tidaklah heran, pada  pertengahan abad XVII, tepatnya pada tanggal 25 Juni 1689, ketika  kapal Portugis yang dipimpin oleh Kapten Cotingo masuk ke Pulau Petak, wilayah orang Ngaju (atau Biaju) yang masih Kaharingan, mereka disambut dengan ramah dan meriah. Menurut catatan  Gemmelli Careri (1728: 215-236, dalam Baier 2002: 75)  orang-orang Ngaju pada waktu itu ada mengajukan usulan untuk beraliansi dengan Portugis bahkan mereka meminta agar di wilayah mereka didirikan  kubu pertahanan untuk melawan Banjarmasin[4].  Antara Portugis dan kepala-kepala suku Dayak lalu diadakan perjanjian persekutuan.  Kepala-kepala suku bersumpah tunduk kepada raja Portugis (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339-40)
  Patut dicatat bahwa sebelum kedatangan Portugis itu, orang-orang  Ngaju bukanlah penduduk pedalaman.  Mereka adalah penduduk pantai  yang biasa menggunakan  kapal besar untuk merampok maupun berdagang.  Namun kemudian karena kedatangan Islam mereka mundur ke pedalaman.  Hans Knapen (2001),  yang telah melakukan penelitian atas arsip-arsip Borneo Selatan  pada sekitar tahun 1860-1880, mengajukan hipotesis sebagai berikut:
Before the coming of Islam the Ngaju Dayak were a coastal people, occupying the entire coastal area of Southeast Kalimantan, the Terusan area being their heartland.   They controlled much of the Southeast Borneo trade that went on during the Southeast Asian ‘age of commerce’, which was probably the reason why they came down after all.  After the rise of Islam and the development of Banjarmasin during the sixteenth century the Ngaju have gradually been moving inland towards the north and west after some serious clashes with the new Banjarese ruler, leaving few of them living east Kapuas  (2001:90)

Hipotesis Knapen itu sejajar dengan data yang terdapat dalam  Hikayat Bandjar  yang mengatakan bahwa  pada zaman Nagara Dipa (sekitar abad ke-14)  orang-orang Ngaju  diklasifikasikan sebagai  pedagang sama seperti pedagang asing lainnya yaitu orang India dan  (Ras 1968: 40-71), dan pada waktu itu mereka tinggal di muara sungai Barito, Kapuas, dan Kahayan (Ras 1968: 22,41-2, 195).  Data ini sangat masuk akal bila kita bandingkan dengan data lain yang  melaporkan bahwa  orang-orang Ngaju  mendiami sebagian besar wilayah Barat Banjarmasin dan berprofesi sebagai bajak laut.  Mereka juga telah melakukan perdagangan secara langsung dengan Singapura yang mereka sebut sebagai “Salat” (Hardeland 1859:152, Perealaer 1870: 182, 183).  Atau seperti yang dicatat oleh menurut Pijnappel)  bahwa orang-orang Ngaju adalah para pelaut ulung yang telah melakukan perdagangan dengan Singapura hingga pertengahan abad ke-19 (Pijnappel 1860; 287, 305, 312.   Hal  ini menurut Idwar Saleh, seorang sejarahwan Banjar yang telah melakukan riset mengenai nama-nama sungai di Kalimantan Selatan,  yang mengakibatkan ada banyak nama sungai-sungai kecil di muara Barito dan Martapura berasal dari bahasa Ngaju (Idwar Saleh 1984:6).  Menurut Alfani Daud (1997: 34)  sepanjang sungai Martapura yaitu mulai ibukota kesultanan sampai dekat kota Banjarmasin adalah daerah pemukiman orang Ngaju.  Karena itu, hingga sekarang, daerah berpaya-paya di tepi sungai Martapura, yaitu di sebelah hilir kota Martapura adalah kediaman orang-orang gaib, yang rupanya asal Biaju atau Ngaju.
            Tentu saja kelancangan orang Portugis  yang melakukan hubungan perdagangan langsung dengan orang-orang Ngaju itu membuat marah pihak Banjarmasin, karena:
Para Sultan Banjarmasin dalam soal perdagangan menjalankan politik tertutup bagi suku-suku Daya di pedalaman.  Mereka tidak diperbolehkan menjual hasil-hasil hutan dan lain-lain langsung kepada pedagang-pedagang asing.  Hasil-hasil dari daerah pedalaman itu hanya boleh dijual dan dibeli di batas-batas kesultanan dengan harga sangat murah, lalu diangkut ke Banjarmasin dan dijual kepada pedagang-pedagang luar negeri dengan harga sangat mahal (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 337)
           
Kemarahan itu berubah menjadi murka ketika mereka  tahu orang Portugis tidak hanya sekedar berdagang dengan orang-orang Ngaju tetapi juga meng-Katolik-an orang Ngaju. Hal itu terjadi karena  bersama para pedagang Portugis itu terdapat seorang missionaris yang bernama pater Antonius Ventimiglia.  Dilaporkan bahwa Pater itu  telah meninggalkan kapal, menyewa sebuah perahu dan mudik ke daerah pedalaman.  Di atas perahu dia mendirikan sebuah altar. Ia mengunjungi beberapa kepala suku terkemuka seperti Tomungun, Daman dan Sindum.  Dilaporkan bahwa pada tahun 1691 ada “lima belas suku” yang memeluk agama Katolik, dan pada tahun 1690 saja sudah ada 1,800 orang yang sudah dibaptis  (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 339).  Tiga tahun kemudian dilaporkan  ada 3,000 sampai 4,000  orang yang telah menjadi Katolik (Gemelli Careri 1728: 216; Valentijn III: 252, dalam Baier 2002: 75).
            Kegiatan Pater Ventimiglia itu dinilai negatif oleh Banjarmasin yang sangat khawatir kalau pengaruhnya di kalangan suku Dayak berkurang. Karena itu, barang-barang milik Pater Ventimiglia, termasuk benda-benda untuk mempersembahkan korban misa, semuanya diambil oleh orang-orang suruhan Sultan, dan   ia dipanggil ke Banjarmasin untuk kemudian dideportasi ke luar Kalimantan (Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 340).  Tetapi Pater Ventimiglia membangkang, ia masuk ke pedalaman dan tinggal bersama orang-orang Dayak di daerah Mantangai[5].   Pada tahun 1694, ketika Jacob Janz de Roy  (1706) melakukan perjalanan ke daerah pedalaman Kalimantan, ia melaporkan bahwa orang-orang Dayak di pedalaman telah menjalin hubungan dagang dengan Portugis.  Hal itu dikarenakan adanya seorang missionaris Katolik yang mahir berbahasa daerah dan telah membaptis sekitar 3.000 orang.  Tetapi antara penduduk pedalaman dan Sultan Banjarmasin ada perselisihan.  Oleh sebab itu, setelah bertahun-tahun di tengah orang Ngaju, Pater Ventimiglia  dibunuh atas perintah Sultan.  Akibatnya adalah beribu-ribu orang Katolik Ngaju  yang telah dibaptiskan itu  kembali ke agama mereka semula.  Yang masing tinggal bersama mereka adalah tanda-tanda salib saja, itupun telah kehilangan arti yang sebenarnya dan berubah menjadi benda fetis yang berkhasiat magis untuk penolak bala (Ugang 1983: 20; bdk Bagian Dokumentasi-Penerangan Kantor Waligereja Indonesia 1974: 342).   Menurut Perelear (1870:13)  sisa atau peninggalan lain dari Katolikisme yang disebarkan oleh Pater Ventimiglia adalah konsep kiham apui (riam api) dalam sistem teologi orang Dayak Ngaju. Konsep kiham apui  ini  memang mirip dengan konsep api penyucian (purgatory) dalam Katolikisme. Di mana sebelum masuk ke sorga semua arwah harus melalui kiham apui untuk mendapat semacam penyucian. 



[1] Detail ceritera ini dapat dilihat dalam Disertasi Hermogenes Ugang (1987: 201-5), atau dalam  Tjilik Riwut (1958: 57-8).  Namun  Riwut mengatakan bahwa  suami Diang Lawai atau Biang Lawai itu Pangeran Samudera, Raja Islam Banjar pertama dan bukan Pangeran Marhum, Raja Islam Banjar yang ke-4.
[2] Panaturan kini menjadi nama Kitab Suci pemeluk Agama  Kaharingan.
[3] Berita Tionghoa itu berbunyi: The last king of Banjarmasin was a good man, who treated the merchants very favourabky; he had thirty-one sons and fearing that they might molest the merchant-vessels, he did not allow them to go out.  His wife was the daughter of a Beadjoe chieftain and a son of her succeeded his father; this man listened to the words of his mother’s relatives, began to oppres the the trade and owed much money to the trader, which he did never pay. After this the number of those who visited the country gradually diminished. (Cense 1928: 110).
[4] Tampaknya usulan orang Ngaju itu tidak ditanggapi, namu mereka diberi beberapa pucuk meriam kecil.  Oleh orang-orang Dayak  rupanya meriam itu dijadikan sebgai barang keramat, salah satunya dapat ditemukan di Sungai Kanamit di seberang Kampung Sungai Kayu di Kuala Kapus. Kini meriam itu terdapat di depan Kantor Depdikbud  Kecamatan Kapuas Barat di Mandomai
[5] Sampai sekarang di Mantangai, Kalimantan Tengah, ada satu sungai yang diberi nama oleh penduduk setempat sebagai Handel Portugis.  Diperkirakan di daerah itu dahulu Pater Ventimiglia menetap bersama orang Dayak.

No comments:

Post a Comment